Malam itu saya sulit sekali tidur, karena siang tadi sudah tidur nyenyak. Kulihat jam di dinding musholla menunjukkan pukul satu dini hari. Kuambil air wudlu disamping musholla, kulaksanakan rakaat pertama sholat tahajudku. Dengan tartil kubaca bacaan sholat, rasanya nikmat sekali, jauh dari kebisingan, jauh dari hiruk pikuk metropolitan. Hmm…kunikmati sekali shalatku malam itu. Sampai salam disholatku yang ketiga baru tersadar ada orang lain di musholla ini. Orang yang sudah tua, terlihat rambutnya yang hampir semua memutih. Memakai baju takwa warna hitam dan sarung batik. Agak jauh dari tempatku sholat.
“Assalaamualaikum, “tiba-tiba dari arah belakangku terdengar sapaan dengan suara agak berat.
“Wa’alaaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh,” kutoleh arah suara sapaan tadi ternyata memang kakek yang kulihat tadi. Wajahnya bersih, bahkan kulihat sinar lain yang menyejukkan terpancar dari wajahnya.
“Maaf, kakek tinggal dimana ya? Baru kali ini saya melihat kakek?, “ tanyaku hati-hati.
“Rumah kakek nggak jauh dari sini dibelakang tegalan itu, memang sejak dulu kakek jarang di rumah,” jawabnya.
“Nggak terasa Ramadhan sudah datang lagi ya?, bulan yang sangat dirindukan oleh semua umat. Seandainya mereka tahu kemuliaan bulan ini mereka tak akan terjaga sedetik pun”, katanya sambil matanya menerawang ke depan.
“Menurut kakek apa kemuliaan yang istimewa dari bulan ini kek?” tanyaku.
“Bagi yang mata hatinya terbuka, bagi yang terbuka hijabnya dengan sang penguasa Jagad Raya, setiap desahan nafasnya adalah rezeki tak terkira di bulan ini. Semua pintu rahmatNya dibuka, semua pintu hidayahNya terbuka, semua pintu ampunanNya terbuka, tinggal manusianya, apakah mereka mampu menerima kemuliaan yang luar biasa ini?” urainya, “Tapi kadang puasa ini hanya sebagai penahan lapar dan dahaga saja, tak lebih, hanya sebagai penggugur kewajiban atas bulan ini, sehingga derajat yang kita capai pun tak akan pernah naik dari itu.”desahnya.
Akupun ikut terdiam, sehingga hening sejenak waktu. Malam semakin merambat pagi, suara jangkrik menimbulkan simphoni tersendiri dimalam pertama bulan Ramadhan ini. Dan desau angin malam semakin menambah dingin suasana.
“Puasa tapi masih korupsi, puasa tapi masih mengumbar amarah, puasa tapi masih menyakiti hati orang lain, puasa tapi masih lahap saja ketika berbuka di depan anak-anak peminta-minta. Pertanyaannya kenapa masih seperti itu saja? Padahal puasa kita telah berpuluh-puluh tahun. Kenapa tak ada jejak kenikmatan kita dalam berpuasa. Bahkan tak berbekas. Selesai puasa kita kembali pada rutinitas kemaksiatan kita? Astaghfirullah… .”desahnya, kudengar suaranya sedikit serak.
“Puasa kita masih sekedar puasa fisik, belum menyentuh hati kita, belum menyentuh hakikatnya, apalagi menyentuh cinta kita” lirih suaranya.
Aku semakin tertunduk…seolah terkena daya magis yang sangat kuat. Menyeretku ke sebuah lorong sunyi dan gelap…Kepekatan malam ini seolah ikut memberi nuansa magis dalam dialog-dialog yang terucap dari mulut kakek ini.
“Kita masih sanggup menelantarkan anak-anak yatim walaupun puasa kita telah berbilang tahun, kita masih sanggup melahap nikmatnya buka puasa walaupun didepan kita terlihat orang-orang yang hidup dijalanan dan menadahkan tangan seolah itu hal yang wajar-wajar saja. Dengan sedikit receh serasa habis perkara. Bahkan mungkin berhari-hari mereka tak menemukan makanan sekedar untuk mengganjal perutnya, rasanya mereka lebih mampu menghayati arti puasa dibanding kita yang hanya menahan lapar dari pagi sampai petang, dan begitu bedug Adzan bertalu segera dapat melahap kenyang buka puasa kita. Bisa jadi mereka telah berpuasa sepanjang masa, karena kemiskinannya.
“Ah kok jadi saya yang banyak ngomong!” kata kakek itu.
“Nggak apa apa Kek, itu malah lebih baik buat saya, buat bekal saya lebih menghayati puasa” kataku sambil sedikit tersentak ke kesadaran semula setelah merasa melayang.
Entah kenapa berdekat-dekat dengan kakek ini seperti ada sesuatu rasa yang sulit kugambarkan.
Tiba-tiba pintu belakang rumahku terbuka, ternyata Bapak sudah bangun dan mau sholat malam. Memang pintu samping dapurku berhubungan langsung dengan teras samping Musholla ini.
“Nak, saya pamit dulu, Insyaallah besok ketemu lagi, Assalaamualaikum…“ tiba-tiba Kakek itu beranjak dari duduknya dan segera berlalu.
“Waalaaikumsalam warahmatullah wabarakaatuh, “ jawabku.
“Nak, siap-siap sahur, itu Ibumu sudah siapkan,” kalimat Bapak sedikit mengagetkan saya. Konsentrasiku sedikit buyar sehingga tak kulihat Kakek tadi keluar.
“Iya pak saya sudah selesai sholat kok, sebentar lagi saya masuk.”jawabku. Segera aku bangkit dan masuk rumah untuk ikut membantu ibu menyiapkan sahur.
Aku jadi penasaran dengan Kakek tadi bahkan aku belum tahu namanya.
“Bu, kira-kira ibu kenal nggak dengan Kakek yang dua malam ini sholat tahajjud di musholla belakang?”tanyaku.
“Kakek siapa?”tanya Bapak dan Ibu hampir barengan.
“Masak Bapak nggak pernah lihat? Kemaren saat Bapak sholat di musholla beliau ada, Pak?” terangku.
“Rambutnya sudah haimpr memutih semua, kira-kira seusia Mbah Imam sebelum meninggal, hanya badannya agak tinggi dan kurus. Tapi wajahnya masih kelihatan segar, dua hari ini bahkan kami mengobrol di musholla?”lanjutku.
Kulihat kedua orangtuaku berpandangan sejenak sambil mengernyitkan kening, “Justru itu yang ingin kami tanyakan pada kamu, beberapa hari ini kamu seperti bercakap-cakap dengan orang tapi ketika bapak lihat nggak ada siapa-siapa.”
“Hmmmhhh…siapa sebenarnya ya?” kata Bapak dengan heran.
“Katanya rumahnya ada di belakang tegal Bu?” aku masih sedikit ngotot.
“ Kamu lupa to Nak, kalau dibelakang tegal kita cuma ada sungai, ada dua rumah yang satu rumah mak Isah, yang satunya rumah Kang Agung yang biasa kita mintai tolong ngambil buah kelapa itu.” terang Ibu.
“Kalau mereka aku kenal Bu!”, jawabku.Siapa Kakek itu? Kenapa dia datang tepat disaat saya sedang shalat tahajud. Ia seolah diutus untuk menemani shalat saya. Malaikatkah dia? Entahlah yang jelas saya akan selalu merindukan bimbinganmu, Kakek.
LiEn’s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar