Senin, 25 Juni 2012

Hukum Berdakwah Melalui Parlemen 'Studi Komparatif antara Abu Muhammad al-Maqdisiy dan Yusuf al-Qardhawiy'


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Dalam ajaran Islam, dakwah memiliki urgensi yang sangat penting, karena hanya dengan dakwah pulalah syi’âr Islam menyebar ke seluruh penjuru di setiap generasi. Allah pun menjanjikan pahala yang besar bagi para du’ât yang berjuang keras dalam medan dakwah walaupun mendapatkan berbagai tantangan dan rintangan. Allah swt selaku perumus tata nilai Islam (Musyâri’) dan pencipta manusia (Khâliq) tahu pasti keampuhan Islam sebagai kerangka nilai rumusannya yang terakhir untuk memenuhi kebutuhan dunia hingga akhir zaman, dan Dia tahu persis kebutuhan umat manusia tanpa kecuali terhadap tata nilai-Nya.
Islam adalah agama yang lengkap dan mencakup semua aspek kehidupan. Allah swt tidak menjadikan urusan agama ini sebagai sebuah etika internal khusus untuk orang-orang suci yang mengucilkan diri di dalam sebuah tempat ibadah dan terputus dengan dunia luar, bahkan ayat-ayat al-Quran al-Karîm sangat banyak berbicara mengenai aturan hidup manusia dan syarî’at yang harus ditegakkan. Dan mustahil untuk menegakkan ajaran Islam secara kâffah bila tidak menguasai dunia politik. Karena hakikat Islam itu adalah memimpin peradaban manusia, baik bagi yang beriman kepada Allah swt maupun yang tidak. Sebagaimana firman Allah swt:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ...
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu, “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya….
Duduknya para du’ât di parlemen adalah sebuah upaya untuk meresmikan hukum Allah swt agar bisa diakui oleh masyarakat sebagai hukum yang positif. Misi para du’ât adalah bagaimana menjadikan ayat-ayat al-Quran dan as-Sunnah menjadi resmi diakui sebagai undang-undang negara. Bila belum bisa semua secara sekaligus, tentu harus satu persatu.
Semua itu adalah sunnatullah dan ciri khas dakwah para nabi dan Rasul, serta contoh nyata perjuangan para salafush-shalih, yang tidak pernah meninggalkan perjuangan untuk menerapkan syarî’at Islam hanya karena umatnya belum mau menerima langsung sepenuhnya.
 Hal ini mengingat bahwa negara Indonesia ini secara resmi tidak mengakui hukum Islam secara total, kecuali hanya beberapa bagian kecil saja. jika kita masih mengakui eksistensi negara ini, maka kewajiban kita adalah memperjuangkan secara resmi dan penuh dengan legitimasi agar lebih banyak lagi hukum Islam yang bisa diakui dan berlaku di negara ini.
Namun sebaliknya, bila kita beranggapan tidak boleh memperjuangkan tegaknya hukum Islam di dalam konstitusi negara, konsekuensinya kita pun tidak boleh mengakui keberadaan negara ini. Sebuah sikap yang tidak konsekuen dengan realita yang ada. Sebab Rasulullah saw pun bisa melihat realitas bahwa di sekelilingnya ada banyak negara besar yang tidak menjalankan hukum Allah. Bahkan secara resmi Rasulullah saw berkirim surat kepada para penguasa dunia lengkap dengan stempel resmi kenabian. Artinya, beliau saw mengakui keberadaan negara-negara kafir itu.
Sementara, negara kita sebenarnya tidak seratus persen kafir, sebab mayoritas penduduknya muslim dan para pemegang tampuk kekuasaannya pun orang-orang Islam. Bahkan tidak semua hukum Islam ditolak, meski yang tertampung di dalam hukum positif negeri ini terlalu sedikit.
Kalau pun terdapat seorang muslim yang belum mampu berjuang menegakkan Islam lewat kesempatan berdakwah melalui parlemen, minimal orang tersebut tidak boleh menghalangi niat orang lain yang sudah mempunyai kesempatan. Sebaliknya, orang tersebut justru harus mendo’akan perjuangan seorang muslim yang ikut terlibat di dalamnya agar berhasil berdiplomasi untuk semakin banyak meng-golkan syarî’at Islam di negeri ini.
Mengkaji pendapat Abû Muhammad al-Maqdisîy dan Yûsuf al-Qardhawîy mengenai berdakwah melalui parlemen sangat menarik karena keduanya sama-sama mengalami pergolakan politik pada masanya.  Karena itulah di dalam risalah ini penulis akan mendeskripsikan pemikiran Maqdisîy dan Qardhawîy dan menganalisa latar belakang pemikirannya dengan pendekatan sosio-politik. Kemudian mendeskripsikan secara analitik bagaimana pandangan Maqdisîy dan Qardhawîy mengenai berdakwah melalui parlemen.
Hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengangkat pembahasan mengenai hukum berdakwah melalui parlemen yaitu karena ketidaktahuan umat tentang hakikat hukum tersebut, serta adanya perbedaan pendapat mengenai berdakwah di parlemen.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa hal yang menjadi pokok masalah dalam penulisan ini, antara lain:
1.    Bagaimana pendapat Abû Muhammad al-Maqdisîy dan Yusuf al-Qardhawîy mengenai hukum berdakwah melalui parlemen ?
2.    Apa persamaan dan perbedaan pendapat antara Maqdisîy dan Qardhawîy mengenai hukum berdakwah melalui parlemen ?

C.      Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1.         Tujuan penulisan
Tujuan dalam penulisan ini adalah:
a.         Menggambarkan pendapat Abû Muhammad al-Maqdisîy dan Yûsuf al-Qardhawîy mengenai hukum berdakwah melalui parlemen.
b.         Menemukan persamaan dan perbedaan antara pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy.
2.         Kegunaan Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini adalah:
a.         Secara teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi kontribusi tentang penentuan sikap-sikap yang harus dimiliki para du’ât mengenai berdakwah melalui parlemen.
b.         Secara Praktis
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi manfaat bagi orang Islam yang akan masuk parlemen, khususnya bagi orang Islam yang telah terlibat di dalamnya.

D.      Tinjauan Pustaka
Di dalam penulisan ini, penulis menggunakan buku-buku yang relevan dan nantinya akan dijadikan landasan teori dan sebagai perbandingan dalam mengupas pembahasan berdakwah di parlemen. Diantaranya:
Buku yang berjudul “Millah Ibrâhim Dakwah Para Nabi dan Rasul” yang ditulis oleh Abû Muhammad al-Maqdisîy, dalam buku ini membahas tentang diharamkannya bergabung dalam pemerintahan non Islam.
Makalah yang ditulis oleh Syaikh Abû Muhammad ‘Ashim al-Maqdisîy dan alih bahasa oleh Abû Sulaimân yang berjudul “Demokrasi Sesuai dengan Ajaran Islâm?”. Makalah ini membicarakan tentang maslahat Dakwah dan  diharamkannya masuk parlemen.
Buku yang berjudul “Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah” yang ditulis oleh Dr. Yusuf al-Qardhawîy, dalam buku ini membahas tentang bolehnya berdakwah di parlemen dengan syarat-syarat tertentu.
Perbedaannya dengan risalah yang penulis susun, dalam buku yang telah disebutkan di atas hanya mengemukakan pendapat Yûsuf al-Qardhawîy saja tanpa mengkomparasikannya dengan pendapat Abû Muhammad al-Maqdisîy, sedangkan tulisan ini mengkomparasikan antara Abû Muhammad al-Maqdisîy dan Yûsuf al-Qardhawîy.

E.       Metode Penulisan
1.        Jenis dan Sifat Penulisan
Penulisan ini termasuk jenis penulisan pustaka (library research), yaitu penulisan yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya. Sedangkan sifat penulisan ini adalah deskriptif studi perbandingan.
2.        Pengumpulan Data
Karena kajian ini adalah kajian kepustakaan, maka sumber datanya adalah karya yang dihasilkan oleh Qardhawîy dan Maqdisîy, atau disebut juga dengan data utama (primer). Adapun karya-karya dalam kategori tersebut adalah buku yang berjudul Millah Ibrâhim Dakwah Para Nabi dan Rasûl dan buku yang berjudul Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan sumber bantuan atau tambahan (sekunder) adalah tulisan-tulisan yang memuat karya Maqdisîy sendiri.
3.        Analisis Data
Jika data telah terkumpul, dilakukan analisis data dengan cara menghimpun lalu menganalisa data yang sudah ada (content analysis).
4.        Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan sosio-historis, yaitu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui latar belakang sosio-kultural seorang ulama dan sosio-politik seorang ulama, karena pemikiran seorang ulama merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya itu.
Metode sosio-historis dimaksudkan sebagai suatu metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, agama atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan, ajaran dan kejadian tersebut muncul.
           
F.       Sistematika Pembahasan
Penulisan risalah ini disusun dengan menggunakan uraian yang sistematis untuk memudahkan pengkajian dan pemahaman terhadap persoalan yang ada.
Adapun sistematika dalam penulisan risalah ini sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah yang akan dianalisis, tujuan dan kegunaan penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan serta sistematika pembahasan untuk mengarahkan pembaca kepada substansi penulisan ini.
Bab II berisi tentang biografi ulama, meliputi sketsa biografi, kondisi sosial, latar belakang keluarga dan pendidikan Abû Muhammad al-Maqdisîy dan Yûsuf al-Qardhawîy.
Bab III berisi tentang pendapat Abû Muhammad al-Maqdisîy dan Yûsuf al-Qardhawîy mengenai hukum berdakwah melalui parlemen. Dan Penulis menganalisis dan mengkomparasikan antara pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy mengenai hukum berdakwah melalui parlemen.
BAB V merupakan penutup yang mencakup kesimpulan dan saran. Pada bagian akhir disertakan daftar pustaka.

BAB II
BIOGRAFI KEDUA ULAMA

A.      Biografi Abû Muhammad al-Maqdisîy
1.        Latar belakang
Nama lengkap Abû Muhammad al-Maqdisîy adalah Abû Muhammad ‘Ashîm bin Muhammad bin Thahir al-Barqawîy, masyhurnya Maqdisîy, nasabnya al ‘Utaibiy, dari desa Barqa wilayah Nahlas, Maqdisîy dilahirkan di desa tersebut tahun 1378 H.
2.        Riwayat Pendidikan
Maqdisîy meninggalkan daerahnya setelah tiga atau empat tahun bersama keluarganya menuju ke Kuwait, di sana Maqdisîy menetap dan menyelesaikan studi SMU-nya di sana, kemudian ia studi keilmuan di universitas Mosul di utara Irak atas dasar keinginan ayahnya. Dan di sana Allah telah memudahkan Maqdisîy untuk berhubungan dengan banyak jama’at dan harakat Islâmiyyah.
3.        Kondisi Sosial
Pada tahun 1994 M Maqdisîy ditangkap bersama sejumlah ikhwan muwahhidin yang telah diberi fatwa oleh Maqdisîy akan kebolehan melakukan operasi (jihad) melawan penjajahan zionis di Palestina dengan bahan-bahan peledak.
Maqdisîy melanjutkan dakwahnya di dalam penjara, dan menulis banyak risalah-risalahnya di sana. Dan di antara yang paling pertama ditulis di penjara adalah silsilah “Yâ Shâhibay as-Sijn, Arbâbun Mutafarriqûna Khairun am Allah al-Wahîd al-Qahhâr” dan dimuatlah di dalamnya materi-materi yang beraneka ragam seputar Tauhid, Millah Ibrâhim, Ibadah serta Syirik sehingga dakwah ini tersebar di kalangan orang-orang yang ditahan dengan karunia Allah.
Maqdisîy mendekam beberapa tahun di penjara-penjara Yordania, kemudian  dibebaskan setelah itu, walaupun Maqdisîy tetap terus dipersempit geraknya. Dan Maqdisîy melanjutkan tulisan-tulisan dan dakwahnya kemudian diciduk kembali setelah itu oleh pihak dinas intelijen Yordania berkali-kali dalam waktu-waktu yang terbatas setiap setelah kegiatan di negeri ini.
4.        Karya tulis Maqdisîy
Abû Muhammad al-Maqdisîy memiliki kurang lebih 154 karya, diantara karya-karyanya adalah:
a.         Millah Ibrâhim wa Dakwah al-Anbiyâ’ wa al-Mursalîn
b.         Ar-Risâlah ats-Tsalâtsiniyyah fî at-Tahdzîr min Ghulluw fî at-Takfîr
c.         Al-Qaul an-Nafîs fî at-Tahdzîr min Khâdî‘ati Iblis
d.        Ad-Dimuqrâthiyyah Dîn
e.         Kasyfu Syubuhât al-Mujâdilin ‘an Asâkir asy-Syirk
f.          Lâ Tahzan Inna Allah Ma’anâ
g.         Masyrû’ asy-Syarqi al-Ausath al-Kabîr
h.         Al-Kawâsyif al-Jaliyyah fî Kufri Daulah as-Su‘udiyyah 
i.           Imta‘un Nazhar fî Kasyf Syubuhat Murji‘ah al-‘Ashri
j.           Tabsharul ‘Uqula bi Talbisat Ahli Tajahhumi wal Irja’.

B.       Biografi Yûsuf Qardhawîy
1.        Latar belakang
Di berbagai negara di dunia, nama Dr. Yûsuf Qardhawîy (ada yang menulisnya dengan Yûsuf Qaradhawîy), sangat populer. Qardhawîy dikenal sebagai ulama yang berani dan kritis. Pandangannya sangat luas dan tajam. Karena itu, banyak pihak yang merasa 'gerah' dengan berbagai pemikirannya yang seringkali dianggap menyudutkan pihak tertentu, termasuk pemerintah Mesir.
2.      Riwayat Pendidikan
Qardhawîy menyelesaikan pendidikannya di Ma'hâd Thantha dan Ma'hâd Tsanawi. Setelah itu, Qardhawîy kemudian melanjutkan ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, dan lulus tahun 1952.
3.      Kondisi Sosial
Saat berusia 23 tahun, Qardhawîy muda harus mendekam dipenjara akibat
keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwânul Muslimîn saat Presiden Mesir masih dijabat Raja Faruk tahun 1949. Setelah bebas dari penjara, Qardhawîy kembali menyuarakan kebebasan. Karena khutbah-khutbahnya yang keras, dan mengecam keridakadilan yang dilakukan rezim berkuasa, Qardhawîy harus berurusan dengan pihak berwajib. Bahkan Qardhawîy sempat dilarang untuk memberikan khutbah di sebuah Masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu.
Akibatnya, pada bulan april tahun 1956 Qardhawîy kembali ditangkap saat terjadi Revolusi di Mesir. Setelah beberapa bulan, pada Oktober 1956, Qardhawîy kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun. Setelah berkali-kali mendekam dibalik jeruji besi, Qardhawîy akhirnya meninggalkan Mesir tahun 1961 menuju Qatar. Di Qatar ini, Qardhawîy lebih leluasa mengungkapkan pemikiran-pemikirannya.
4.      Karya tulis Qardhawîy
a.         Dalam bidang Fiqh dan Usul Fiqh
 Sebagai seorang ahli fiqh, Qardhawîy telah menulis sedikitnya 14 buah buku, baik Fiqh maupun Ushûl Fiqh. Antara lain, al-Halâl wa al-Harâm fî al-Islam, al-Ijtihâd fî al-Sharî'at al-Islamiyyah, Fiqh al-Siyâm, Fiqh al-Tahârah, Fiqh al-Ghina' wa al-Musiqa.
b.         Ekonomi Islam
Dalam bidang ekonomi Islam, buku karya Qardhawîy antara
lain, Fiqh Zakat, Bay'u al-Murâbahah li al-Amri bi al-Shirâ; ( Sistem jual
beli al-Murâbah), Fawa'id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Harâm, (Manfaat
Diharamkannya Bunga Bank), Dawr al-Qiyâm wa al-Akhlâq fî al-Iqtishâd
al-Islâmi (Peranan nilai dan akhlak dalam ekonomi Islam), serta Dur al-Zakât fî alaj al-Musykilât al-Iqtishâdiyyah (Peranan zakat dalam Mengatasi Masalah ekonomi).
c.         Pengetahuan tentang al-Quran dan as-Sunnah.
Qardhawîy menulis sejumlah buku dan kajian mendalam terhadap metodologi mempelajari al-Qur’an, cara berinteraksi dan pemahaman terhadap al-Qur’an maupun as-Sunnah. Buku-bukunya antara lain al-Aql wa al-Ilm fi al-Quran (Akal dan Ilmu dalam al-Quran), al-Sabru fi al-Quran (Sabar dalam al-Quran), Tafsir Surah al-Ra'd dan Kayfa Nata'amal ma'a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Bagaimana berinteraksi dengan sunnah).
d.        Akidah Islam
 Dalam bidang ini Qardhawîy menulis sekitar empat buku,
antara lain Wujud Allah (Adanya Allah), Haqiqat at-Tauhîd (Hakikat
Tauhid), Iman bi Qadr (Keimanan kepada Qadar).
Selain karya diatas, Qardhawîy juga banyak menulis buku tentang Tokoh-tokoh Islam seperti al-Ghazali, Para Wanita Beriman dan Abû Hasan al-Nadwi. Qardhawîy juga menulis buku Akhlak berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, Kebangkitan Islam, Sastra dan Syair serta banyak lagi yang lainnya.

BAB III
PENDAPAT MAQDISÎY DAN QARDHAWÎY MENGENAI
HUKUM BERDAKWAH MELALUI PARLEMEN

A.      Pendapat Abû Muhammad al-Maqdisîy
Dalam pandangan Abû Muhammad al-Maqdisîy, setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt dan juga tidak mengamalkan hukum-hukum-Nya, maka tidak boleh bagi seorang muslim ikut serta menjadi anggota pada majelis negara tersebut ataupun parlemennya. Dan Maqdisîy menyebutkan bahwa parlemen merupakan jalan kekafiran, karena seandainya para juru dakwah bergabung di dalamnya dan ikut serta dalam membuat undang-undang maka hal itu tidak akan menjadi hukum Allah, akan tetapi hal itu adalah hukum undang-undang, hukum rakyat, dan hukum mayoritas. Tidak akan menjadi hukum Allah kecuali saat adanya berserah diri dan menerima sepenuhnya firman Allah, lapang dada untuk menerima syari'at-Nya dan untuk menghambakan diri kepada-Nya swt.
Adapun saat menerima penuh ajaran demokrasi, syari'at undang-undang, dan hukum rakyat serta hukum mayoritas, maka itu adalah hukum thaghut meskipun pada saat yang bersamaan sesuai dengan hukum Allah dalam beberapa bentuknya, karena Allah swt  telah berfirman: 
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ  
“Keputusan (hukum) itu hanyalah milik Allah.”
Allah tidak mengatakan: “Keputusan itu hanyalah milik manusia," dan Allah swt juga berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.

Allah tidak berfirman: “menurut seperti apa yang Allah turunkan," atau "dan hendaklah putuskan di antara mereka menurut apa yang ditegaskan oleh hukum dan undang-undang buatan," justru itu adalah ucapan kaum musyrikin dari kalangan budak-budak demokrasi dan para penyembah undang-undang bumi.

Oleh karena itu Maqdisîy berpendapat bahwa tidak ada manfaatnya bagi kaum muslimin untuk ikut serta dalam hukum yang tidak diturunkan oleh Allah, karena dampak keikutsertaan ini tidak memberikan manfaat secara konkrit, biasanya kelompok kecil yang ingin menegakkan syariat ini suaranya dikalahkan oleh kelompok lain yang pada akhirnya para du’at tidak memperoleh apa-apa kecuali fitnah bagi dirinya sendiri.
Maqdisîy dengan tegas menyatakan “apa yang telah diisyaratkan kepadanya, yaitu lembaga-lembaga yang didirikan oleh para thaghut, seperti parlemen (MPR/DPR/DPRD) majelis-majelis umat (MPR) dan yang serupa dengannya. Supaya di dalamnya mereka mengumpulkan lawan-lawan mereka dari kalangan para du’at dan yang lainnya, mereka duduk bersama-sama, berdampingan serta berbaur dengannya sehingga mereka membancikan (mengaburkan/memandulkan) permasalahan itu di antara mereka, akhirnya masalah itu tidak lagi menjadi masalah baru dari mereka atau kufur terhadap UU dan UUD mereka atau mencabut diri dari kebatilan mereka seluruhnya, namun yang terjadi adalah ta’awun, saling bergandeng tangan, saling menasehati, duduk di meja rembukan dalam rangka kepentingan negeri, ekonominya, keamanannya dan demi kepentingan tanah air yang dikendalikan oleh thaghut dan diatur berdasarkan keinginan-keinginannya dan kekafiran-kekafirannya. Ini adalah penyimpangan fatal yang mana kami mengetahui orang-orangnya dan kami melihat mayoritas mereka itu dari kalangan yang mengaku bermanhaj salaf atau orang-orang yang sering merujuk perkataan Sayyid Quthub dan yang semisalnya, namun demikian setelah mereka itu jatuh di dalam penyimpangan ini, mereka sekarang bertepuk tangan untuk para thaghut, berdiri untuk mereka sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan, mengkhithabi mereka dengan gelar-gelarnya, menyerukan untuk loyal pada pemerintahnya, tentaranya dan aparat keamanannya, dan bersumpah untuk menghormati undang-undang dasar mereka, dan undang-undangnya serta lainnya, maka apa yang mereka siksakan untuk dakwah mereka?.”

Sesungguhnya Allah swt telah menjelaskan dalam firman-Nya strategi-strategi orang kafir ini memberikan kepada kaum muslimin solusi dan obat dan membimbing kepada jalan yang benar, sebagaimana firman-Nya:
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).”

فَلَا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ
Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah).”
Dan semisal hal itu adalah firman-Nya swt:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلًا (23) فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا (24)
Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.
Dan dalam penyebutan al-Qur’an dan karunia Allah swt atas Nabinya dan karunia Allah swt atas Nabinya dengan diturunkannya kepadanya sebelum larangan dari mena’ati orang-orang kafir yang banyak dosa, di dalamnya terdapat penjelasan akan jalan dakwah yang shahih, sesungguhnya jalan ini tidaklah dipilih oleh para du’at dari dirinya sendiri, dan mereka tidak memiliki hak untuk menggariskannya atau menentukan batasan-batasannya sesuai keinginan atau pilihannya, namun itu adalah Millah Ibrahin dan dakwah para Nabi dan Rasul yang disebutkan dengan terperinci dalam al-Qur’an ini.
Setelah itu Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan kepada kaum kafirin:
لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.
Dan seperti itu pula firman-Nya kepada Nabi-Nya :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ (18) إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ (19)
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. Dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.
Sesungguhnya ayat-ayat ini menentukan jalan aktivitas dakwah dan membatasinya, serta di dalamnya sudah mencukupi lagi tidak membutuhkan ucapan, komentar atau tafshil (perincian), sesungguhnya ini adalah syarî’at yang satu, dan yang selainnya adalah hawa nafsu yang bersumber dari kejahilan. Wajib atas pembawa panji dakwah untuk mengikuti syarî’at saja dan meninggalkan hawa nafsu seluruhnya.

B.       Pendapat Yûsuf al-Qardhawîy
Yûsuf al-Qardhawîy mengatakan, hukum dasar berdakwah lewat parlemen ialah larangan bagi orang Muslim untuk bergabung kecuali dalam pemerintahan yang membuatnya sanggup menerapkan syarî’at-syarî’at Allah, dengan menduduki jabatan pemimpin atau menteri, tidak menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya, harus tunduk kepada-Nya sesuai dengan tuntutan imannya. Sebagaimana firman Allah swt:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.”
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
 “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
Jika pemerintahan itu bukan Islam, dengan pengertian tidak mempunyai komitmen untuk menetapkan syarî’at Islam dan hukum-hukumnya dalam segala sektor kehidupan, baik perundang-undangan, pendidikan, peradaban, media massa, ekonomi, politik, administrasi atau pun pemerintahan, tetapi merujuk kepada sumber-sumber selain Islam, mengimpor dari Barat atau dari Timur, dari kiri atau kanan, dari filsafat liberalis atau Marxis, atau pun lainnya, atau merujuk kepada Islam dan menggabungnya dengan sumber-sumber selain Islam, yang terkadang justru lebih mementingkan selain Islam dari pada Islam sendiri, maka semua ini ditolak dalam pandangan Islam. Sebab Islam mengharuskan orang-orang Muslim untuk berhukum kepada apa yang diturunkan Allah, tidak boleh mengambil sebagian dan meniggalkan sebagian yang lain, sebagaimana firman Allah kepada Rasul-Nya:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
 “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Al-Qur’an mengingkari secara keras Bani Israel yang mengambil sebagian isi kitabnya yang diturunkan dan mengingkari sebagian yang lain:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (85) أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ (86)
 “Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”
Jika orang yang pertama kali harus bertanggung jawab dalam penyimpangan dari syarî’at Islam ini adalah pemimpin negara, raja, presiden, perdana menteri atau komandan militer, maka orang-orang yang ikut membantu penyimpangannya juga ikut mendapat dosa, sesuai dengan kadar bantuan dan dukungannya. Maka al-Qur’an menggabungkan tentara Fir’aun dalam dosa Fir’aun dan mereka layak mendapat siksa di dunia serta di akhirat, sebagaimana firman-Nya:
فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ  
 “Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya Dia menjadi musuh dan Kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.”
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ (40) وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ (41) وَأَتْبَعْنَاهُمْ فِي هَذِهِ الدُّنْيَا لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ هُمْ مِنَ الْمَقْبُوحِينَ(42)
 “Maka Kami hukumlah Fir'aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. Dan, Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka Termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah).”
Al-Qur’an juga menggabungkan rakyat yang mengikuti pemimpin-pemimpin yang zhalim dalam dosa dan siksa. Sebagaimana al-Qur’an mencela kaum Nuh:
قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا
 “Nuh berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.”
Al-Qur’an juga mencela kaum Hud:
وَتِلْكَ عَادٌ جَحَدُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَعَصَوْا رُسُلَهُ وَاتَّبَعُوا أَمْرَ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ
Dan Itulah (kisah) kaum 'Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai Rasul-rasul Allah dan mereka menuruti perintah semua Penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran).”
Al-Qur’an juga mencela kaum Fir’aun:
...وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ...
 “...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..”
Tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan takwa ada tingkatan-tingkatannya, yang satu tidak sama dengan yang lain. Allah swt berfirman:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
 “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”
Tidak diperkenankan bagi orang Muslim untuk cenderung kepada orang-orang yang zhalim, agar dia tidak disentuh api neraka pada hari kiamat, hingga dia tidak mendapat pertolongan dari Allah.
1.         Dasar Pertimbangan Penentuan Hukum.
Apa yang telah disebutkan tentang pengharaman tolong menolong dengan orang-orang yang berbuat zhalim ini merupakan hukum dasar atau kaidah yang fundamental atau umum. Pengertian lebih jauh, di sana ada kondisi-kondisi tertentu yang membuatnya keluar dari hukum dasar ini karena beberapa pertimbangan yang masih diakui syarî’at di antara pertimbangan-pertimbangan ini adalah:
a.    Tuntutan meminimalkan kejahatan kezhaliman menurut kesanggupan.
Siapa yang sanggup meminimalkan kezhaliman, keburukan dan kejahatan dengan cara apa pun, maka para du’at harus melakukannya. Para du’ât harus menolong orang yang tertindas, membantu orang yang dizhalimi, menguatkan orang yang lemah, mempersempit kawasan dosa dan kejahatan. Allah swt telah berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu[1480]. dan Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”
Rasulullah saw bersabda:                 
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ                          
Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka laksanakanlah perintah itu menurut kesanggupan kalian.”
b.    Melakukan madharat yang paling ringan.
Ada kaidah yang diakui syarî’at, yaitu melakukan mudharat yang paling ringan dan keburukan yang paling remeh untuk menyingkirkan mudharat dan keburukan yang paling besar, atau meninggalkan kemaslahatan yang terendah untuk mendapatkan kemaslahatan yang tertinggi.
Oleh karena itu para fuqahâ memperbolehkan mendiamkan kemungkaran. Sebab jika tidak, bisa menyeret kepada kemungkaran yang lebih besar lagi. Rasulullah saw meninggalkan sesuatu yang dilihatnya sebagai suatu kewajiban, karena dikhawatirkan bisa memicu cobaan dengan adanya perubahan dalam pembangunan Ka’bah dan mereka tidak berpijak secara mantap di atas Islam di kemudan hari.
c.    Melepaskan nilai yang paling tinggi lalu turun ke kenyataan yang terendah
Di sana ada nilai-nilai luhur yang telah dipancangkan syariat untuk insan Muslim, supaya kedua mata tertuju kepadanya, hatinya terpaut kepadanya, dan supaya semua aktifitasnya terararah kepadanya. Tetapi kehidupan praktis seringkali mengalahkan nilai luhur ini, sehingga tidak bisa dicapai olehnya dan terpaksa melepasnya untuk beralih ke yang lain. Hal ini bisa terjadi karena tekanan keterpaksaan dan mencari kemungkinan yang paling mudah, setelah tidak sanggup naik ke nilai yang sulit dicapainya.
Dari sinilah ditetapkan kaidah-kaidah yang terkenal, seperti:       
1)      الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتُ
Keadaan yang memaksa memperbolehkan apa yang dilarang.”
2)      المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
Kesulitan bisa mendatangkan pilihan yang mudah.”
3)      لَاضَرَرَ وَلَاضِرَارَ
Tidak ada bahaya bagi diri sendiri dan bagi orang lain.”
4)      رَفع الحرج
Kesalahan yang dimaafkan.”
Siapa yang membaca al-Qur’an dan menelaah as-Sunnah, tentu akan mendapatkan kejelasan mengenai hal ini. al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Allah menegakkan hukum-hukum syari’at-Nya pada asas kemudahan dan bukan pada kesulitan, pada asas keringanan dan bukan pada keberatan, pada asas kepedulian terhadap kondisi-kondisi yang meringankan, keterpaksaan yang tidak bisa dihindari dan kebutuhan yang amat mendesak. Allah swt berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ...
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
 “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”

Dalam hadits shahih disebutkan:
يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا       
Permudahlah dan janganlah mempersulit, sampaikanlah kabar gembira dan jangan buat mereka lari.”
إِنَّمَا بُعثْتُم مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ               
Sesungguhnya kalian diutus menjadi orang-orang yang membuat kemudahan dan tidak diutus menjadi orang-orang yang menjadi orang-orang yang membuat kesulitan.”
d.        Penahapan
Sesungguhnya Allah swt mempunyai sunnah yang berlaku di kalangan makhluk-Nya dan kita tidak bisa melalaikannya begitu saja, yaitu sunnah penahapan.
Segala sesuatu berangkat dari yang kecil kemudian menjadi besar, dari lemah menjadi kuat. Menggapai tujuan penerapan hukum Islam secara menyeluruh merupakan tujuan yang besar. Hal ini tidak perlu disangsikan lagi, dan harus menjadi sasaran pokok. Tetapi untuk mencapai tujuan ini bukanlah perkara yang mudah, dapat dicapai dengan sekali tepuk. Tidak ada salahnya seseorang menggapai sebagian di antaranya selagi memiliki kesanggupan, agar orang tersebut bisa memberikan contoh kepada orang lain dan memungkinkan baginya untuk menegakkan kebenaran, menyebarkan keadilan dan kebaikan, lalu dapat membuka pintu bagi orang lain dan mendorongnya untuk berbuat seperti apa yang diperbuatnya.
2.         Beberapa Syarat Masuk Parlemen
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi tatkala bergabung dengan kekuasaan bukan Islam. Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka hukumnya kembali kepada hukum dasar, yaitu larangan untuk bergabung. Syarat-syarat itu ialah:
a.         Gabungan itu harus dilakukan secara nyata, bukan sekedar isapan jempol dan bualan. Orang yang bergabung tidak hanya menjadi alat di tangan orang lain yang bisa memanfaatkan dirinya menurut kemauannya sendiri. Sementara para du’ât juga tidak berusaha untuk melakukan perbaikan dan perlawanan secara rasional, yang memungkinkan baginya untuk menegakkan keadilan, menyingkirkan kezhaliman, membenarkan yang benar dan membatilkan yang batil, sebatas lingkup yang ditanganinya, sekalipun hanya berupa gambaran parsial. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka tidak ada artinya penggabungan itu.
b.         Kekuasaan itu tidak boleh menjadi simbol kezhaliman dan kesewenang-wenangan, dikenal suka menginjak-injak hak manusia. Yang dituntut dari orang Muslim dan merubahnya dengan cara-cara yang memungkinkan, dengan menggunakan tangan atau lidahnya, minimal menggunakan hatinya, sekalipun ini merupakan gambaran iman yang paling lemah. Keterlibatannya dalam kekuasaan ini bukan untuk mendukung dan bersekutu di dalamnya.
Andaikata Yusuf as diminta Fir’aun yang berkuasa di bumi dan menjadikan rakyatnya sebagai pengikutnya, agar beliau menduduki suatu jabatan penting, tentu beliau akan menolaknya dan tidak akan meminta menjadi pejabat urusan pangan di Mesir. Bagaimana pun juga raja Mesir yang berkuasa pada zaman beliau berbeda dengan Fir’aun yang berbeda dengan Fir’aun yang berkuasa pada zaman Musa.
Berangkat dari sini, maka orang Muslim atau jama’ah Islam yang komitmen, tidak boleh bergabung dalam kekuasaan diktator, yang suka menjerat leher rakyat, entah kekuasaan itu secara mutlak berada di tangan seseorang atau pun merupakan kekuasaan militer yang merata.
Keterlibatan seorang Muslim dalam kekuasaan boleh dilakukan hanya dalam kekuasaan yang demokratis dan menghormati hak-hak manusia.
c.         Dia harus mempunyai hak agar bisa menentang apa-apa yang secara jelas bertentangan dengan Islam, atau minimal menjaga Islam. Bisa saja seorang menteri menegakkan keadilan di lingkup kementeriannya. Tetapi di Majlis Kementerian, yang salah seorang anggotanya adalah dia, maka dia dituntut untuk menunjukkan penentangan terhadap ketetapan hukum yang tidak sesuai dengan syariat Islam, atau minimal bisa menjaga Islam.
Jika di sana banyak perkara yang kontroversial dan harus ditentang, besar pengaruhnya dan bisa fatal akibatnya, maka tidak cukup hanya dengan berjaga-jaga diri dan menunjukkan penentangan, tapi harus keluar dari sistem kekuasaan itu. Sebab sejarah kita tidak pernah menuturkan adanya orang Muslim atau Jama’ah Islam yang melibatkan diri dalam dosa yang terlihat nyata.
Gambaran yang paling jelas pada zaman sekarang adalah bekerja sama dengan Israel, mengakui pencaplokan mereka terhadap tanah Palestina, membiarkan Jerussalam dikuasai Israel, lalu menyatakan di mana-mana bahwa Jerussalam adalah ibukota negara Israel, tanpa mempedulikan nasib sekian juta anak-anak Palestina yang terusir dari kampung halamannya, sementara pada saat yang sama dia membiarkan orang-orang Israel yang datang dan menduduki beberapa wilayah Palestina.
d.        Harus meluruskan orang-orang yang ikut terlibat dalam kekuasaan itu, meminta mereka untuk memilih atau mundur serta mencari kejelasan kepada mereka.
                      
C.      Perbandingan Pendapat Antara Maqdisîy dan Qardhawîy
Penulis memandang bahwa keharaman masuk parlemen adalah azîmah (hukum asal) dan dibolehkannya masuk perlemen adalah rukhshah (hukum pengecualian) dalam kondisi-kondisi tertentu, karena ikrâh (terpaksa) sebagaimana firman Allah swt:
 مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”
Mengenai batasan Ikrah (terpaksa) dalam ayat tersebut adalah masalah ijtihadiyah karena para fuqaha’ (Ahli Fiqh) masih berbeda pendapat mengenai hal tersebut, di antara pendapat mereka adalah ancaman yang menakutkan termasuk ikrâh (terpaksa). Allah swt memberikan informasi untuk umat Islam tentang bahayanya orang-orang kafir jika mengisi wilayah kekuasaan, Allah swt berfirman:
كَيْفَ وَإِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لَا يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً يُرْضُونَكُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَى قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ
Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian).
Jadi masuk perlemen yang tidak membuat undang-undang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah termasuk dalam kategori Ikrâh karena parlemen adalah salah satu wilayah kekuasaan, jika wilayah ini diisi oleh orang-orang kafir pasti akan membahayakan umat Islam sebagaimana telah disebutkan di dalam firman Allah diatas.
Fakta-fakta yang sama ketika gerakan Islam mendapat suara mayoritas dalam pemilu, mereka diboikot dan diperangi oleh orang Kafir sebagaimana yang terjdi pada FIS di al-Jazair, Hamas di Palestina, Ikhwânul Muslimin di Mesir dan kebencian partai-partai sekuler ketika perda-perda syarî’ah disahkan, kemudian kebencian orang-orang Sekuler Liberal terhadap semua pergerakan Islam termasuk PKS dalam buku “Ilusi Negara Islam”. Ini merupakan bukti bahwa yang dilakukan gerakan-gerakan Islam itu bukanlah Mudâhanah, sebagaimana firman Allah swt:
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).
Dan firman Allah swt:    
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا (73) وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74) إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا (75).
Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia (73) Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka (74) kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa hal tersebut bukan Mudâhanah, seandainya hal itu adalah Mudâhanah tidak mungkin mereka dibenci dan pasti mereka disukai.
Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya sedikit. Jadi bila masuknya itu melahirkan sesuatu yang baik, maka diperbolehkan untuk bergabung di dalamnya, akan tetapi jika hanya sekedar menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum yang ada maka tidak boleh. Demikian juga bila tidak mendatangkan maslahat bagi umat Islam, maka masuknya tidak dibenarkan. Para ulama berkata, "Mendatangkan manfaat dan menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak boleh diiringi dengan mafsadat yang lebih besar."
Islam itu datang dengan visi menarik maslahat dan menyempurnakannya serta menolak mafsadah dan menguranginya. maksudnya bila tidak bisa menghilangkan semua mafsadah maka dikurangi, mendapatkan yang terkecil dari dua dharar, itu yang diperintahkan. Jadi tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya. Bila masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam atas segala penyelewengan yang ada, maka tidak boleh, akan tetapi jika masuknya demi kemaslahatan kaum muslimin dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang dituntut. Dan jika dia harus mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski tujuannya mulia.
Jalan keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat bagi kaum muslimin dan tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal tersebut tidak bertentangan. Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi kaum muslimin atau hal tersebut mengakibatkan adanya kemadharatan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Apabila pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy dirinci terdapat persamaan sebagai berikut:
1.         Persamaan Pendapat
Dengan menganalisa sosio historis Maqdisîy dan Qardhawîy maka penulis temukan latar belakang yang hampir tidak jauh berbeda, karena Maqdisîy dan Qardhawîy tersebut mengalami pergolakan politik yang memojokkan keduanya pada ranah yang tertindas, sehingga kedua ulama tersebut harus mengalami kehidupan di penjara berulang kali, namun hal ini bukan merupakan faktor yang mempengaruhi karya yang mereka tulis mengenai hukum berdakwah melalui parlemen. Selama di penjara banyak karya yang mereka tulis, terutama Maqdisîy yang kurang lebih terdapat 159 buah buku yang telah ditulisnya. Di antara persamaan pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy mengenai hukum berdakwah melalui parlemen pada masa sekarang ini, ialah:
a.         Bila pemerintahan itu bukan Islam, dengan pengertian tidak mempunyai komitmen untuk menerapkan syarî’at Islâm dan hukum-hukumnya dalam segala sektor kehidupan, baik perundang-undangan, pendidikan, peradaban dan lain-lain, maka semua ini ditolak dalam pandangan Islam. Sebab Islam mengharuskan orang-orang Muslim untuk berhukum kepada aturan yang diturunkan Allah, tidak boleh mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.
b.         Bahwa Maqdisîy dan Qardhawîy sama-sama tidak membolehkan berdakwah melalui parlemen, namun Qardhawîy menggabungkan antara melarang dan membolehkan, Qardhawîy membolehkan dengan beberapa syarat di antaranya gabungan itu harus dilakukan secara nyata, bukan sekedar isapan jempol dan bualan dan kekuasaan itu tidak boleh menjadi simbol kezhaliman dan kesewenang-wenangan, dikenal suka menginjak-injak hak manusia.

2.         Perbedaan Pendapat
Berdasarkan sosio historis, tidak terdapat perbedaan di antara Maqdisîy dan Qardhawîy, sekalipun mereka sama-sama mengalami pergolakan politik namun mereka berbeda dalam hal pergerakan, yang mana Qardhawîy ikut terlibat dalam pergerakan Ikhwânul Muslimin sedangkan Maqdisîy dalam harakat Islâmiyyah yang lebih meruju’ pada menjahrkan dakwah para Nabi dan Rasul.

BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.        Abû Muhammad al-Maqdisîy berpendapat bahwa hukum berdakwah melalui parlemen ialah haram berdasarkan dalil-dalil yang qath’îy yang menunjukkan bahwa negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt dan juga tidak mengamalkan hukum-hukum-Nya, maka tidak boleh bagi seorang muslim ikut serta menjadi anggota pada majelis negara tersebut ataupun parlemennya. Yûsuf al-Qardhawîy menggabungkan antara mengharamkan dan membolehkan masuk parlemen yaitu bahwa hukum dasar dalam masalah ini ialah larangan bagi orang Muslim untuk bergabung kecuali dalam pemerintahan yang membuatnya sanggup menerapkan syarî’at-syarî’at Allah, namun Qardhawîy membolehkan berdakwah melalui Parlemen dengan beberapa syarat di antaranya gabungan itu harus dilakukan secara nyata, bukan sekedar isapan jempol dan bualan dan kekuasaan itu tidak boleh menjadi simbol kezhaliman dan kesewenang-wenangan, dikenal suka menginjak-injak hak manusia.
2.        Persamaan antara pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy ialah keduanya sama-sama berpendapat tidak membolehkan berdakwah melalui parlemen, namun Qardhawîy menggabungkan antara melarang dan membolehkan, dan Qardhawîy membolehkannya dengan beberapa syarat. Dan tidak terdapat perbedaan di antara pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy mengenai hukum berdakwah melalui parlemen, keduanya hanya berbeda dalam hal pergerakan, yang mana Qardhawîy ikut terlibat dalam pergerakan Ikhwânul Muslimin sedangkan Maqdisîy dalam harakat Islâmiyyah yang lebih meruju’ pada menjahrkan dakwah para Nabi dan Rasul
                                 
B.       Saran
1.        Hendaklah ada seorang Muslim atau jama’ah Islam yang komitmen bergabung dalam pemerintahan bukan Islam dengan tujuan untuk memperjuangkan secara resmi dan penuh dengan legitimasi agar lebih banyak lagi hukum Islam yang bisa diakui dan berlaku di negara ini.
2.        Bagi seorang muslim yang belum mampu berjuang menegakkan Islam lewat kesempatan berdakwah melalui parlemen, minimal orang tersebut tidak boleh menghalangi niat orang lain yang sudah mempunyai kesempatan.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Baihaqīy, Abū Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Alīy, Sunan al-Kubra. Beirut: Dzar Kutub al-‘alamiyyah.

Abu, Biografi Syekh Abu Muhammad Al Maqdisi, <http://okitoink.multiply.com/journal/ item/47?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem> diakses pada tanggal 15 Mei 2012.

Al-Maqdisīy, Abū Muhammad. 2007. Millah Ibrāhim Dakwah Para Nabi dan Rasûl. Jakarta: Ar-Rahmah Media.

Al-Qarḍawīy, Yūsuf. 1997. Fiqh ad-Daulah fil Islam. Kairo: Dzar asy-Syurūq.

Bukhāri, Shahīh. 2005. Kutubu as-Sittah. Riyād: Maktabah ar-Rusydi.
Hidayatullah, Biografi Yusuf Qardhawi,  <http://tokoh-muslim.blogspot.com/2009/01/dr-yusuf-qardhawi.html> diakses pada tanggal 15 Mei 2012.

Muzdhar, Atho. 1998. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tirmidzīy, Sunan. 2005.  Kutubu as-Sittah. Riyād: Maktabah ar-Rusydi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar