BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam ajaran Islam,
dakwah memiliki urgensi yang sangat penting, karena hanya dengan dakwah pulalah
syi’âr Islam menyebar ke seluruh penjuru di setiap generasi. Allah pun
menjanjikan pahala yang besar bagi para du’ât yang berjuang keras dalam medan
dakwah walaupun mendapatkan berbagai tantangan dan rintangan. Allah swt selaku
perumus tata nilai Islam (Musyâri’) dan pencipta manusia (Khâliq)
tahu pasti keampuhan Islam sebagai kerangka nilai rumusannya yang terakhir untuk
memenuhi kebutuhan dunia hingga akhir zaman, dan Dia tahu persis kebutuhan umat
manusia tanpa kecuali terhadap tata nilai-Nya.
Islam adalah agama yang lengkap dan
mencakup semua aspek kehidupan. Allah swt tidak menjadikan urusan agama ini
sebagai sebuah etika internal khusus untuk orang-orang suci yang mengucilkan
diri di dalam sebuah tempat ibadah dan terputus dengan dunia luar, bahkan
ayat-ayat al-Quran al-Karîm sangat banyak berbicara mengenai aturan hidup
manusia dan syarî’at yang harus ditegakkan. Dan mustahil untuk menegakkan ajaran
Islam secara kâffah
bila tidak menguasai dunia politik. Karena hakikat Islam itu adalah memimpin peradaban
manusia, baik bagi yang beriman kepada Allah swt maupun yang tidak. Sebagaimana firman Allah swt:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى
بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ
وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ...
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu, “Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya….
Duduknya para du’ât di parlemen adalah sebuah upaya
untuk meresmikan hukum Allah swt agar bisa diakui oleh masyarakat sebagai hukum
yang positif. Misi para du’ât adalah bagaimana menjadikan ayat-ayat al-Quran
dan as-Sunnah menjadi resmi diakui sebagai undang-undang negara. Bila belum
bisa semua secara sekaligus, tentu harus satu persatu.
Semua itu adalah sunnatullah dan ciri khas dakwah
para nabi dan Rasul, serta contoh nyata perjuangan para salafush-shalih, yang
tidak pernah meninggalkan perjuangan untuk menerapkan syarî’at Islam hanya
karena umatnya belum mau menerima langsung sepenuhnya.
Hal ini mengingat bahwa negara Indonesia ini
secara resmi tidak mengakui hukum Islam secara total, kecuali hanya beberapa
bagian kecil saja. jika kita masih mengakui eksistensi negara ini, maka
kewajiban kita adalah memperjuangkan secara resmi dan penuh dengan legitimasi agar
lebih banyak lagi hukum Islam yang bisa diakui dan berlaku di negara ini.
Namun sebaliknya, bila kita
beranggapan tidak boleh memperjuangkan tegaknya hukum Islam di dalam konstitusi
negara, konsekuensinya kita pun tidak boleh mengakui keberadaan negara ini.
Sebuah sikap yang tidak konsekuen dengan realita yang ada. Sebab Rasulullah saw
pun bisa melihat realitas bahwa di sekelilingnya ada banyak negara besar yang
tidak menjalankan hukum Allah. Bahkan secara resmi Rasulullah saw
berkirim surat kepada para penguasa dunia lengkap dengan stempel resmi
kenabian. Artinya, beliau saw mengakui keberadaan negara-negara kafir itu.
Sementara, negara kita sebenarnya
tidak seratus persen kafir, sebab mayoritas penduduknya muslim dan para
pemegang tampuk kekuasaannya pun orang-orang Islam. Bahkan tidak semua hukum
Islam ditolak, meski yang tertampung di dalam hukum positif negeri ini terlalu
sedikit.
Kalau pun terdapat seorang muslim
yang belum mampu berjuang menegakkan Islam lewat kesempatan berdakwah melalui
parlemen, minimal orang tersebut tidak boleh menghalangi niat orang lain yang
sudah mempunyai kesempatan. Sebaliknya, orang tersebut justru harus mendo’akan
perjuangan seorang muslim yang ikut terlibat di dalamnya agar berhasil
berdiplomasi untuk semakin banyak meng-golkan syarî’at Islam di negeri ini.
Mengkaji pendapat
Abû Muhammad al-Maqdisîy dan Yûsuf al-Qardhawîy mengenai berdakwah melalui
parlemen sangat menarik karena keduanya sama-sama mengalami pergolakan politik
pada masanya. Karena itulah di dalam
risalah ini penulis akan mendeskripsikan pemikiran Maqdisîy dan Qardhawîy dan
menganalisa latar belakang pemikirannya dengan pendekatan sosio-politik.
Kemudian mendeskripsikan secara analitik bagaimana pandangan Maqdisîy dan Qardhawîy
mengenai berdakwah melalui parlemen.
Hal inilah yang
melatar belakangi penulis untuk mengangkat pembahasan mengenai hukum berdakwah
melalui parlemen yaitu karena ketidaktahuan umat tentang hakikat hukum
tersebut, serta adanya perbedaan pendapat mengenai berdakwah di parlemen.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa hal
yang menjadi pokok masalah dalam penulisan ini, antara lain:
1. Bagaimana pendapat Abû Muhammad al-Maqdisîy
dan Yusuf al-Qardhawîy mengenai hukum berdakwah melalui parlemen ?
2. Apa persamaan dan perbedaan pendapat antara
Maqdisîy dan Qardhawîy mengenai hukum berdakwah melalui parlemen ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1.
Tujuan
penulisan
Tujuan dalam penulisan ini adalah:
a.
Menggambarkan
pendapat Abû Muhammad al-Maqdisîy dan Yûsuf al-Qardhawîy mengenai hukum berdakwah
melalui parlemen.
b.
Menemukan
persamaan dan perbedaan antara pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy.
2.
Kegunaan
Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari
penulisan ini adalah:
a.
Secara
teoritis
Penulisan ini
diharapkan dapat menjadi kontribusi tentang penentuan sikap-sikap yang harus
dimiliki para du’ât mengenai berdakwah
melalui parlemen.
b.
Secara
Praktis
Penulisan ini
diharapkan dapat menjadi manfaat bagi orang Islam yang akan masuk parlemen,
khususnya bagi orang Islam yang telah terlibat di dalamnya.
D. Tinjauan Pustaka
Di dalam penulisan
ini, penulis menggunakan buku-buku yang relevan dan nantinya akan dijadikan
landasan teori dan sebagai
perbandingan dalam mengupas pembahasan berdakwah
di parlemen. Diantaranya:
Buku yang
berjudul “Millah Ibrâhim Dakwah Para Nabi dan Rasul” yang ditulis oleh
Abû Muhammad al-Maqdisîy, dalam buku ini membahas tentang diharamkannya
bergabung dalam pemerintahan non Islam.
Makalah yang
ditulis oleh Syaikh Abû Muhammad ‘Ashim al-Maqdisîy dan alih bahasa oleh Abû
Sulaimân yang berjudul “Demokrasi Sesuai dengan Ajaran Islâm?”. Makalah
ini membicarakan tentang maslahat Dakwah dan
diharamkannya masuk parlemen.
Buku yang berjudul “Fiqh
Daulah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah” yang ditulis oleh Dr.
Yusuf al-Qardhawîy, dalam buku ini membahas tentang bolehnya berdakwah di parlemen
dengan syarat-syarat tertentu.
Perbedaannya dengan risalah yang penulis susun,
dalam buku yang telah disebutkan di atas hanya mengemukakan pendapat Yûsuf al-Qardhawîy
saja tanpa mengkomparasikannya dengan pendapat Abû Muhammad al-Maqdisîy, sedangkan
tulisan ini mengkomparasikan antara Abû Muhammad al-Maqdisîy dan Yûsuf
al-Qardhawîy.
E. Metode Penulisan
1.
Jenis dan Sifat Penulisan
Penulisan ini
termasuk jenis penulisan pustaka (library research), yaitu penulisan
yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya. Sedangkan sifat penulisan
ini adalah deskriptif studi perbandingan.
2.
Pengumpulan Data
Karena kajian
ini adalah kajian kepustakaan, maka sumber datanya adalah karya yang dihasilkan
oleh Qardhawîy dan Maqdisîy, atau disebut juga dengan data utama (primer).
Adapun karya-karya dalam kategori tersebut adalah buku yang berjudul Millah
Ibrâhim Dakwah Para Nabi dan Rasûl dan buku yang berjudul Fiqh Daulah
dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan sumber bantuan atau
tambahan (sekunder) adalah tulisan-tulisan yang memuat karya Maqdisîy
sendiri.
3.
Analisis
Data
Jika data telah
terkumpul, dilakukan analisis data dengan cara menghimpun lalu menganalisa data
yang sudah ada (content analysis).
4.
Pendekatan
Pendekatan yang
digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan sosio-historis, yaitu
pendekatan yang digunakan untuk mengetahui latar belakang sosio-kultural
seorang ulama dan sosio-politik seorang ulama, karena pemikiran seorang ulama
merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya itu.
Metode sosio-historis
dimaksudkan sebagai suatu metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, agama
atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan
mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana
kepercayaan, ajaran dan kejadian tersebut muncul.
F. Sistematika Pembahasan
Penulisan risalah ini disusun dengan menggunakan
uraian yang sistematis untuk memudahkan pengkajian dan pemahaman terhadap
persoalan yang ada.
Adapun sistematika dalam penulisan risalah ini
sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan, meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah yang akan dianalisis, tujuan dan kegunaan penulisan,
tinjauan pustaka, metode penulisan serta sistematika pembahasan untuk
mengarahkan pembaca kepada substansi penulisan ini.
Bab II berisi tentang biografi ulama, meliputi sketsa
biografi, kondisi sosial, latar belakang keluarga dan pendidikan Abû Muhammad al-Maqdisîy
dan Yûsuf al-Qardhawîy.
Bab III berisi tentang pendapat Abû Muhammad al-Maqdisîy
dan Yûsuf al-Qardhawîy mengenai hukum berdakwah
melalui
parlemen. Dan
Penulis menganalisis dan mengkomparasikan antara pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy
mengenai hukum berdakwah melalui
parlemen.
BAB V merupakan penutup yang mencakup kesimpulan dan
saran. Pada bagian akhir disertakan daftar pustaka.
BAB II
BIOGRAFI KEDUA ULAMA
A. Biografi Abû Muhammad al-Maqdisîy
1.
Latar
belakang
Nama lengkap Abû Muhammad al-Maqdisîy adalah Abû Muhammad ‘Ashîm bin Muhammad bin Thahir al-Barqawîy, masyhurnya Maqdisîy, nasabnya al ‘Utaibiy, dari desa Barqa wilayah
Nahlas, Maqdisîy
dilahirkan di desa tersebut tahun 1378 H.
2.
Riwayat
Pendidikan
Maqdisîy meninggalkan daerahnya setelah tiga atau empat tahun
bersama keluarganya menuju ke Kuwait, di sana Maqdisîy menetap dan menyelesaikan studi SMU-nya di sana,
kemudian ia studi keilmuan di universitas Mosul di utara Irak atas dasar
keinginan ayahnya. Dan di sana Allah telah memudahkan Maqdisîy untuk berhubungan dengan banyak jama’at dan harakat
Islâmiyyah.
3.
Kondisi
Sosial
Pada tahun
1994 M Maqdisîy ditangkap bersama sejumlah ikhwan muwahhidin yang telah diberi
fatwa oleh Maqdisîy akan kebolehan melakukan operasi (jihad) melawan penjajahan
zionis di Palestina dengan bahan-bahan peledak.
Maqdisîy
melanjutkan dakwahnya di dalam penjara, dan menulis banyak risalah-risalahnya
di sana. Dan di antara yang paling pertama ditulis di penjara adalah silsilah
“Yâ Shâhibay as-Sijn, Arbâbun Mutafarriqûna Khairun am Allah al-Wahîd al-Qahhâr”
dan dimuatlah di dalamnya materi-materi yang beraneka ragam seputar Tauhid,
Millah Ibrâhim, Ibadah serta Syirik sehingga dakwah ini tersebar di kalangan
orang-orang yang ditahan dengan karunia Allah.
Maqdisîy mendekam beberapa tahun di penjara-penjara Yordania,
kemudian dibebaskan setelah itu,
walaupun Maqdisîy tetap
terus dipersempit geraknya. Dan Maqdisîy melanjutkan tulisan-tulisan dan dakwahnya kemudian
diciduk kembali setelah itu oleh pihak dinas intelijen Yordania berkali-kali
dalam waktu-waktu yang terbatas setiap setelah kegiatan di negeri ini.
4.
Karya
tulis Maqdisîy
Abû Muhammad al-Maqdisîy memiliki kurang lebih
154 karya, diantara karya-karyanya adalah:
a.
Millah Ibrâhim wa Dakwah al-Anbiyâ’ wa al-Mursalîn
b.
Ar-Risâlah ats-Tsalâtsiniyyah fî at-Tahdzîr min Ghulluw fî at-Takfîr
c.
Al-Qaul an-Nafîs fî at-Tahdzîr min Khâdî‘ati Iblis
d.
Ad-Dimuqrâthiyyah Dîn
e.
Kasyfu Syubuhât al-Mujâdilin ‘an Asâkir asy-Syirk
f.
Lâ Tahzan Inna Allah Ma’anâ
g.
Masyrû’ asy-Syarqi al-Ausath al-Kabîr
h.
Al-Kawâsyif al-Jaliyyah fî Kufri Daulah as-Su‘udiyyah
i.
Imta‘un Nazhar fî Kasyf Syubuhat Murji‘ah al-‘Ashri
j.
Tabsharul ‘Uqula bi Talbisat Ahli Tajahhumi wal Irja’.
B. Biografi Yûsuf Qardhawîy
1.
Latar
belakang
Di berbagai negara di dunia, nama Dr. Yûsuf Qardhawîy (ada yang menulisnya dengan Yûsuf Qaradhawîy), sangat populer. Qardhawîy dikenal sebagai ulama yang berani dan kritis. Pandangannya
sangat luas dan tajam. Karena itu, banyak pihak yang merasa 'gerah' dengan
berbagai pemikirannya yang seringkali dianggap menyudutkan pihak tertentu,
termasuk pemerintah Mesir.
2. Riwayat
Pendidikan
Qardhawîy menyelesaikan pendidikannya di Ma'hâd Thantha dan Ma'hâd Tsanawi. Setelah itu, Qardhawîy kemudian melanjutkan ke Universitas al-Azhar,
Fakultas Ushuluddin, dan lulus tahun 1952.
3. Kondisi
Sosial
Saat berusia 23 tahun, Qardhawîy muda harus mendekam
dipenjara akibat
keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwânul Muslimîn saat Presiden Mesir masih dijabat Raja Faruk tahun 1949. Setelah bebas dari penjara, Qardhawîy kembali menyuarakan kebebasan. Karena khutbah-khutbahnya yang keras, dan mengecam keridakadilan yang dilakukan rezim berkuasa, Qardhawîy harus berurusan dengan pihak berwajib. Bahkan Qardhawîy sempat dilarang untuk memberikan khutbah di sebuah Masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu.
keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwânul Muslimîn saat Presiden Mesir masih dijabat Raja Faruk tahun 1949. Setelah bebas dari penjara, Qardhawîy kembali menyuarakan kebebasan. Karena khutbah-khutbahnya yang keras, dan mengecam keridakadilan yang dilakukan rezim berkuasa, Qardhawîy harus berurusan dengan pihak berwajib. Bahkan Qardhawîy sempat dilarang untuk memberikan khutbah di sebuah Masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu.
Akibatnya, pada bulan april tahun 1956 Qardhawîy kembali ditangkap saat terjadi Revolusi di Mesir.
Setelah beberapa bulan, pada Oktober 1956, Qardhawîy kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun.
Setelah berkali-kali mendekam dibalik jeruji besi, Qardhawîy akhirnya meninggalkan Mesir tahun 1961 menuju
Qatar. Di Qatar ini, Qardhawîy lebih leluasa mengungkapkan pemikiran-pemikirannya.
4. Karya tulis
Qardhawîy
a.
Dalam
bidang Fiqh dan Usul Fiqh
Sebagai
seorang ahli fiqh, Qardhawîy telah menulis sedikitnya 14 buah buku, baik Fiqh
maupun Ushûl Fiqh. Antara lain, al-Halâl wa al-Harâm fî al-Islam, al-Ijtihâd fî
al-Sharî'at al-Islamiyyah, Fiqh al-Siyâm, Fiqh al-Tahârah, Fiqh al-Ghina' wa
al-Musiqa.
b.
Ekonomi
Islam
Dalam bidang ekonomi Islam, buku karya Qardhawîy
antara
lain, Fiqh Zakat, Bay'u al-Murâbahah li al-Amri bi al-Shirâ; ( Sistem jual
beli al-Murâbah), Fawa'id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Harâm, (Manfaat
Diharamkannya Bunga Bank), Dawr al-Qiyâm wa al-Akhlâq fî al-Iqtishâd
al-Islâmi (Peranan nilai dan akhlak dalam ekonomi Islam), serta Dur al-Zakât fî alaj al-Musykilât al-Iqtishâdiyyah (Peranan zakat dalam Mengatasi Masalah ekonomi).
lain, Fiqh Zakat, Bay'u al-Murâbahah li al-Amri bi al-Shirâ; ( Sistem jual
beli al-Murâbah), Fawa'id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Harâm, (Manfaat
Diharamkannya Bunga Bank), Dawr al-Qiyâm wa al-Akhlâq fî al-Iqtishâd
al-Islâmi (Peranan nilai dan akhlak dalam ekonomi Islam), serta Dur al-Zakât fî alaj al-Musykilât al-Iqtishâdiyyah (Peranan zakat dalam Mengatasi Masalah ekonomi).
c.
Pengetahuan
tentang al-Quran dan as-Sunnah.
Qardhawîy menulis sejumlah buku dan kajian mendalam
terhadap metodologi mempelajari al-Qur’an, cara berinteraksi dan pemahaman
terhadap al-Qur’an maupun as-Sunnah. Buku-bukunya antara lain al-Aql wa al-Ilm
fi al-Quran (Akal dan Ilmu dalam al-Quran), al-Sabru fi al-Quran (Sabar dalam
al-Quran), Tafsir Surah al-Ra'd dan Kayfa Nata'amal ma'a al-Sunnah
al-Nabawiyyah (Bagaimana berinteraksi dengan sunnah).
d.
Akidah
Islam
Dalam bidang ini
Qardhawîy menulis sekitar empat buku,
antara lain Wujud Allah (Adanya Allah), Haqiqat at-Tauhîd (Hakikat
Tauhid), Iman bi Qadr (Keimanan kepada Qadar).
antara lain Wujud Allah (Adanya Allah), Haqiqat at-Tauhîd (Hakikat
Tauhid), Iman bi Qadr (Keimanan kepada Qadar).
Selain karya diatas, Qardhawîy juga banyak menulis
buku tentang Tokoh-tokoh Islam seperti al-Ghazali, Para Wanita Beriman dan Abû
Hasan al-Nadwi. Qardhawîy juga menulis buku Akhlak berdasarkan al-Quran dan
as-Sunnah, Kebangkitan Islam, Sastra dan Syair serta banyak lagi yang lainnya.
BAB
III
PENDAPAT
MAQDISÎY DAN QARDHAWÎY MENGENAI
HUKUM
BERDAKWAH MELALUI PARLEMEN
A. Pendapat Abû Muhammad al-Maqdisîy
Dalam pandangan Abû Muhammad al-Maqdisîy,
setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt dan juga tidak
mengamalkan hukum-hukum-Nya, maka tidak boleh bagi seorang muslim ikut serta
menjadi anggota pada majelis negara tersebut ataupun parlemennya. Dan Maqdisîy
menyebutkan bahwa parlemen merupakan jalan kekafiran, karena seandainya para juru dakwah
bergabung di dalamnya dan ikut serta dalam membuat undang-undang maka hal itu
tidak akan menjadi hukum Allah, akan tetapi hal itu adalah hukum
undang-undang, hukum rakyat, dan hukum mayoritas. Tidak akan menjadi hukum
Allah kecuali saat adanya berserah diri dan menerima sepenuhnya firman Allah,
lapang dada untuk menerima syari'at-Nya dan untuk menghambakan diri kepada-Nya swt.
Adapun saat menerima penuh ajaran demokrasi, syari'at undang-undang,
dan hukum rakyat serta hukum mayoritas, maka itu adalah hukum thaghut meskipun
pada saat yang bersamaan sesuai dengan hukum Allah dalam beberapa bentuknya,
karena Allah swt telah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ
إِلاَّ لِلَّهِ
“Keputusan
(hukum) itu hanyalah milik Allah.”
Allah tidak
mengatakan: “Keputusan itu hanyalah milik manusia," dan Allah swt juga berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ
بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
"Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah.”
Allah tidak berfirman: “menurut seperti apa yang Allah turunkan," atau "dan hendaklah putuskan di
antara mereka menurut apa yang ditegaskan oleh hukum dan undang-undang buatan," justru itu adalah ucapan
kaum musyrikin dari kalangan budak-budak demokrasi dan para penyembah
undang-undang bumi.
Oleh karena itu Maqdisîy
berpendapat bahwa tidak ada manfaatnya bagi kaum muslimin untuk ikut serta
dalam hukum yang tidak diturunkan oleh Allah, karena dampak keikutsertaan ini
tidak memberikan manfaat secara konkrit, biasanya kelompok kecil yang ingin
menegakkan syariat ini suaranya dikalahkan oleh kelompok lain yang pada akhirnya
para du’at tidak memperoleh apa-apa kecuali fitnah bagi dirinya sendiri.
Maqdisîy dengan
tegas menyatakan “apa yang telah diisyaratkan kepadanya, yaitu lembaga-lembaga
yang didirikan oleh para thaghut, seperti parlemen (MPR/DPR/DPRD)
majelis-majelis umat (MPR) dan yang serupa dengannya. Supaya di dalamnya mereka
mengumpulkan lawan-lawan mereka dari kalangan para du’at dan yang lainnya,
mereka duduk bersama-sama, berdampingan serta berbaur dengannya sehingga mereka
membancikan (mengaburkan/memandulkan) permasalahan itu di antara mereka,
akhirnya masalah itu tidak lagi menjadi masalah baru dari mereka atau kufur
terhadap UU dan UUD mereka atau mencabut diri dari kebatilan mereka seluruhnya,
namun yang terjadi adalah ta’awun, saling bergandeng tangan, saling menasehati,
duduk di meja rembukan dalam rangka kepentingan negeri, ekonominya, keamanannya
dan demi kepentingan tanah air yang dikendalikan oleh thaghut dan diatur berdasarkan
keinginan-keinginannya dan kekafiran-kekafirannya. Ini adalah penyimpangan
fatal yang mana kami mengetahui orang-orangnya dan kami melihat mayoritas
mereka itu dari kalangan yang mengaku bermanhaj salaf atau orang-orang yang
sering merujuk perkataan Sayyid Quthub dan yang semisalnya, namun demikian
setelah mereka itu jatuh di dalam penyimpangan ini, mereka sekarang bertepuk
tangan untuk para thaghut, berdiri untuk mereka sebagai bentuk pengagungan dan
penghormatan, mengkhithabi mereka dengan gelar-gelarnya, menyerukan untuk loyal
pada pemerintahnya, tentaranya dan aparat keamanannya, dan bersumpah untuk
menghormati undang-undang dasar mereka, dan undang-undangnya serta lainnya,
maka apa yang mereka siksakan untuk dakwah mereka?.”
Sesungguhnya Allah swt telah menjelaskan dalam firman-Nya
strategi-strategi orang kafir ini memberikan kepada kaum muslimin solusi dan
obat dan membimbing kepada jalan yang benar, sebagaimana firman-Nya:
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
“Maka mereka menginginkan supaya kamu
bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).”
فَلَا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ
“Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang
mendustakan (ayat-ayat Allah).”
Dan semisal hal itu adalah firman-Nya swt:
إِنَّا نَحْنُ
نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلًا (23) فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا
تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا (24)
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan al-Quran
kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka
bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu
ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.”
Dan dalam penyebutan al-Qur’an
dan karunia Allah swt atas Nabinya dan karunia Allah swt atas Nabinya dengan diturunkannya
kepadanya sebelum larangan dari mena’ati orang-orang kafir yang banyak dosa, di
dalamnya terdapat penjelasan akan jalan dakwah yang shahih, sesungguhnya jalan
ini tidaklah dipilih oleh para du’at dari dirinya sendiri, dan mereka tidak
memiliki hak untuk menggariskannya atau menentukan batasan-batasannya sesuai
keinginan atau pilihannya, namun itu adalah Millah Ibrahin dan dakwah para Nabi
dan Rasul yang disebutkan dengan terperinci dalam al-Qur’an ini.
Setelah itu Allah memerintahkan
Nabi-Nya untuk mengatakan kepada kaum kafirin:
لَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
“Bagi kami
amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.”
Dan seperti itu pula firman-Nya kepada Nabi-Nya :
ثُمَّ
جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ (18) إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ
اللَّهِ شَيْئًا وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَاللَّهُ
وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ (19)
”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at
(peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka
sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. Dan
Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi
sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.”
Sesungguhnya ayat-ayat ini
menentukan jalan aktivitas dakwah dan membatasinya, serta di dalamnya sudah
mencukupi lagi tidak membutuhkan ucapan, komentar atau tafshil (perincian),
sesungguhnya ini adalah syarî’at yang satu, dan yang selainnya adalah hawa
nafsu yang bersumber dari kejahilan. Wajib atas pembawa panji dakwah untuk
mengikuti syarî’at saja dan meninggalkan hawa nafsu seluruhnya.
B. Pendapat
Yûsuf al-Qardhawîy
Yûsuf al-Qardhawîy mengatakan, hukum
dasar berdakwah lewat parlemen ialah larangan bagi orang Muslim untuk bergabung
kecuali dalam pemerintahan yang membuatnya sanggup menerapkan syarî’at-syarî’at
Allah, dengan menduduki jabatan pemimpin atau menteri, tidak menyalahi perintah
Allah dan Rasul-Nya, harus tunduk kepada-Nya sesuai dengan tuntutan imannya.
Sebagaimana firman Allah swt:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia
telah sesat, sesat yang nyata.”
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul
diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).
Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di
antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih.”
Jika pemerintahan itu bukan Islam, dengan pengertian
tidak mempunyai komitmen untuk menetapkan syarî’at Islam dan hukum-hukumnya
dalam segala sektor kehidupan, baik perundang-undangan, pendidikan, peradaban,
media massa, ekonomi, politik, administrasi atau pun pemerintahan, tetapi
merujuk kepada sumber-sumber selain Islam, mengimpor dari Barat atau dari
Timur, dari kiri atau kanan, dari filsafat liberalis atau Marxis, atau pun
lainnya, atau merujuk kepada Islam dan menggabungnya dengan sumber-sumber
selain Islam, yang terkadang justru lebih mementingkan selain Islam dari pada
Islam sendiri, maka semua ini ditolak dalam pandangan Islam. Sebab Islam
mengharuskan orang-orang Muslim untuk berhukum kepada apa yang diturunkan
Allah, tidak boleh mengambil sebagian dan meniggalkan sebagian yang lain,
sebagaimana firman Allah kepada Rasul-Nya:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ
بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ
النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada
mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Al-Qur’an mengingkari
secara keras Bani Israel yang mengambil sebagian isi kitabnya yang diturunkan
dan mengingkari sebagian yang lain:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ
مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُونَ (85) أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
بِالْآخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ (86)
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab
(Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang
yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia,
dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli
kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, Maka tidak akan diringankan siksa
mereka dan mereka tidak akan ditolong.”
Jika orang yang pertama kali harus bertanggung jawab
dalam penyimpangan dari syarî’at Islam ini adalah pemimpin negara, raja,
presiden, perdana menteri atau komandan militer, maka orang-orang yang ikut
membantu penyimpangannya juga ikut mendapat dosa, sesuai dengan kadar bantuan
dan dukungannya. Maka al-Qur’an menggabungkan tentara Fir’aun dalam dosa
Fir’aun dan mereka layak mendapat siksa di dunia serta di akhirat, sebagaimana
firman-Nya:
فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا إِنَّ
فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ
“Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun
yang akibatnya Dia menjadi musuh dan Kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya
Fir'aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.”
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ فَانْظُرْ كَيْفَ
كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ (40) وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ (41) وَأَتْبَعْنَاهُمْ فِي
هَذِهِ الدُّنْيَا لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ هُمْ مِنَ الْمَقْبُوحِينَ(42)
“Maka Kami hukumlah Fir'aun dan bala
tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana
akibat orang-orang yang zalim. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang
menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.
Dan, Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat
mereka Termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah).”
Al-Qur’an juga menggabungkan rakyat yang mengikuti
pemimpin-pemimpin yang zhalim dalam dosa dan siksa. Sebagaimana al-Qur’an
mencela kaum Nuh:
قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ
مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا
“Nuh berkata: "Ya Tuhanku,
Sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang
harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.”
Al-Qur’an
juga mencela kaum Hud:
وَتِلْكَ عَادٌ جَحَدُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَعَصَوْا رُسُلَهُ وَاتَّبَعُوا
أَمْرَ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ
“Dan Itulah
(kisah) kaum 'Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai
Rasul-rasul Allah dan mereka menuruti perintah semua Penguasa yang
sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran).”
Al-Qur’an
juga mencela kaum Fir’aun:
...وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ...
“...Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran..”
Tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan
takwa ada tingkatan-tingkatannya, yang satu tidak sama dengan yang lain. Allah swt
berfirman:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا
لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada
orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan
sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah,
kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”
Tidak diperkenankan bagi orang Muslim untuk
cenderung kepada orang-orang yang zhalim, agar dia tidak disentuh api neraka
pada hari kiamat, hingga dia tidak mendapat pertolongan dari Allah.
1.
Dasar Pertimbangan Penentuan Hukum.
Apa yang telah disebutkan tentang pengharaman tolong
menolong dengan orang-orang yang berbuat zhalim ini merupakan hukum dasar atau
kaidah yang fundamental atau umum. Pengertian lebih jauh, di sana ada
kondisi-kondisi tertentu yang membuatnya keluar dari hukum dasar ini karena
beberapa pertimbangan yang masih diakui syarî’at di antara
pertimbangan-pertimbangan ini adalah:
a. Tuntutan meminimalkan kejahatan
kezhaliman menurut kesanggupan.
Siapa yang sanggup meminimalkan kezhaliman,
keburukan dan kejahatan dengan cara apa pun, maka para du’at harus
melakukannya. Para du’ât harus menolong orang yang tertindas, membantu orang
yang dizhalimi, menguatkan orang yang lemah, mempersempit kawasan dosa dan
kejahatan. Allah swt telah berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا
خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah
dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu[1480]. dan Barangsiapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang
beruntung.”
Rasulullah saw
bersabda:
إِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku memerintahkan kalian
dengan suatu perintah, maka laksanakanlah perintah itu menurut
kesanggupan kalian.”
b. Melakukan madharat yang paling ringan.
Ada kaidah yang diakui syarî’at, yaitu melakukan
mudharat yang paling ringan dan keburukan yang paling remeh untuk menyingkirkan
mudharat dan keburukan yang paling besar, atau meninggalkan kemaslahatan yang
terendah untuk mendapatkan kemaslahatan yang tertinggi.
Oleh karena itu para fuqahâ’ memperbolehkan mendiamkan kemungkaran. Sebab jika
tidak, bisa
menyeret kepada kemungkaran yang lebih besar lagi. Rasulullah
saw meninggalkan sesuatu yang dilihatnya sebagai suatu
kewajiban, karena dikhawatirkan bisa memicu cobaan dengan adanya perubahan dalam
pembangunan Ka’bah dan mereka tidak berpijak secara mantap di atas Islam di
kemudan hari.
c. Melepaskan nilai yang paling tinggi lalu turun ke kenyataan yang
terendah
Di sana ada nilai-nilai luhur yang telah dipancangkan syari’at untuk insan Muslim, supaya kedua mata tertuju kepadanya, hatinya terpaut
kepadanya, dan supaya semua aktifitasnya terararah kepadanya. Tetapi kehidupan praktis
seringkali mengalahkan nilai luhur ini, sehingga tidak bisa dicapai olehnya dan terpaksa melepasnya untuk beralih ke yang
lain. Hal ini bisa terjadi karena tekanan keterpaksaan dan mencari kemungkinan
yang paling mudah, setelah tidak sanggup naik ke nilai yang sulit dicapainya.
Dari sinilah
ditetapkan kaidah-kaidah yang terkenal, seperti:
1)
الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتُ
“Keadaan
yang memaksa memperbolehkan apa yang dilarang.”
2)
المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
“Kesulitan
bisa mendatangkan pilihan yang mudah.”
3)
لَاضَرَرَ
وَلَاضِرَارَ
“Tidak
ada bahaya bagi diri sendiri dan bagi orang lain.”
4)
رَفع
الحرج
“Kesalahan
yang dimaafkan.”
Siapa yang membaca al-Qur’an dan menelaah as-Sunnah,
tentu akan mendapatkan kejelasan mengenai hal ini. al-Qur’an telah menjelaskan
bahwa Allah menegakkan hukum-hukum syari’at-Nya pada asas kemudahan dan bukan
pada kesulitan, pada asas keringanan dan bukan pada keberatan, pada asas
kepedulian terhadap kondisi-kondisi yang meringankan, keterpaksaan yang tidak
bisa dihindari dan kebutuhan yang amat mendesak. Allah swt berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ...
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
“Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
Dalam hadits shahih disebutkan:
يَسِّرُوْا
وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا
“Permudahlah
dan janganlah mempersulit, sampaikanlah kabar gembira dan jangan buat mereka
lari.”
إِنَّمَا بُعثْتُم مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ
تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ
“Sesungguhnya kalian diutus
menjadi orang-orang yang membuat kemudahan dan tidak diutus menjadi orang-orang
yang menjadi orang-orang yang membuat kesulitan.”
d.
Penahapan
Sesungguhnya Allah swt
mempunyai sunnah yang berlaku di kalangan makhluk-Nya
dan kita tidak bisa melalaikannya begitu saja, yaitu sunnah penahapan.
Segala sesuatu berangkat dari yang kecil kemudian
menjadi besar, dari lemah menjadi kuat. Menggapai tujuan penerapan hukum Islam secara menyeluruh merupakan tujuan yang
besar. Hal ini tidak perlu disangsikan lagi, dan harus menjadi sasaran pokok.
Tetapi untuk mencapai tujuan ini bukanlah perkara yang mudah, dapat dicapai
dengan sekali tepuk. Tidak ada salahnya seseorang menggapai sebagian di antaranya
selagi memiliki kesanggupan, agar orang tersebut bisa memberikan contoh kepada orang
lain dan memungkinkan baginya untuk menegakkan kebenaran,
menyebarkan keadilan dan kebaikan, lalu dapat membuka pintu bagi orang lain dan mendorongnya untuk
berbuat seperti apa yang diperbuatnya.
2.
Beberapa
Syarat Masuk Parlemen
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi tatkala
bergabung dengan kekuasaan bukan Islam. Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi,
maka hukumnya kembali kepada hukum dasar, yaitu larangan untuk bergabung.
Syarat-syarat itu ialah:
a.
Gabungan
itu harus dilakukan secara nyata, bukan sekedar isapan jempol dan bualan. Orang
yang bergabung tidak hanya menjadi alat di tangan orang lain yang bisa
memanfaatkan dirinya menurut kemauannya sendiri. Sementara para du’ât juga
tidak berusaha untuk melakukan perbaikan dan perlawanan secara rasional, yang
memungkinkan baginya untuk menegakkan keadilan, menyingkirkan kezhaliman,
membenarkan yang benar dan membatilkan yang batil, sebatas lingkup yang
ditanganinya, sekalipun hanya berupa gambaran parsial. Jika syarat ini tidak
dipenuhi, maka tidak ada artinya penggabungan itu.
b.
Kekuasaan
itu tidak boleh menjadi simbol kezhaliman dan kesewenang-wenangan, dikenal suka
menginjak-injak hak manusia. Yang dituntut dari orang Muslim dan merubahnya
dengan cara-cara yang memungkinkan, dengan menggunakan tangan atau lidahnya,
minimal menggunakan hatinya, sekalipun ini merupakan gambaran iman yang paling
lemah. Keterlibatannya dalam kekuasaan ini bukan untuk mendukung dan bersekutu di
dalamnya.
Andaikata Yusuf as diminta Fir’aun yang berkuasa di
bumi dan menjadikan rakyatnya sebagai pengikutnya, agar beliau menduduki suatu
jabatan penting, tentu beliau akan menolaknya dan tidak akan meminta menjadi
pejabat urusan pangan di Mesir. Bagaimana pun juga raja Mesir yang berkuasa
pada zaman beliau berbeda dengan Fir’aun yang berbeda dengan Fir’aun yang
berkuasa pada zaman Musa.
Berangkat dari sini, maka orang Muslim atau jama’ah
Islam yang komitmen, tidak boleh bergabung dalam kekuasaan diktator, yang suka
menjerat leher rakyat, entah kekuasaan itu secara mutlak berada di tangan
seseorang atau pun merupakan kekuasaan militer yang merata.
Keterlibatan seorang Muslim dalam kekuasaan boleh
dilakukan hanya dalam kekuasaan yang demokratis dan menghormati hak-hak
manusia.
c.
Dia
harus mempunyai hak agar bisa menentang apa-apa yang secara jelas bertentangan
dengan Islam, atau minimal menjaga Islam. Bisa saja seorang menteri menegakkan
keadilan di lingkup kementeriannya. Tetapi di Majlis Kementerian, yang salah
seorang anggotanya adalah dia, maka dia dituntut untuk menunjukkan penentangan
terhadap ketetapan hukum yang tidak sesuai dengan syariat Islam, atau minimal
bisa menjaga Islam.
Jika di sana banyak perkara yang kontroversial dan
harus ditentang, besar pengaruhnya dan bisa fatal akibatnya, maka tidak cukup
hanya dengan berjaga-jaga diri dan menunjukkan penentangan, tapi harus keluar
dari sistem kekuasaan itu. Sebab sejarah kita tidak pernah menuturkan adanya
orang Muslim atau Jama’ah Islam yang melibatkan diri dalam dosa yang terlihat
nyata.
Gambaran yang paling jelas pada zaman sekarang
adalah bekerja sama dengan Israel, mengakui pencaplokan mereka terhadap tanah
Palestina, membiarkan Jerussalam dikuasai Israel, lalu menyatakan di mana-mana
bahwa Jerussalam adalah ibukota negara Israel, tanpa mempedulikan nasib sekian
juta anak-anak Palestina yang terusir dari kampung halamannya, sementara pada
saat yang sama dia membiarkan orang-orang Israel yang datang dan menduduki
beberapa wilayah Palestina.
d.
Harus
meluruskan orang-orang yang ikut terlibat dalam kekuasaan itu, meminta mereka
untuk memilih atau mundur serta mencari kejelasan kepada mereka.
C.
Perbandingan Pendapat Antara
Maqdisîy dan Qardhawîy
Penulis memandang bahwa keharaman masuk parlemen adalah azîmah (hukum asal) dan dibolehkannya masuk perlemen adalah rukhshah (hukum pengecualian) dalam kondisi-kondisi tertentu, karena ikrâh (terpaksa)
sebagaimana firman Allah swt:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا
مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ
بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar.”
Mengenai batasan Ikrah
(terpaksa) dalam ayat tersebut adalah masalah ijtihadiyah karena para fuqaha’
(Ahli Fiqh) masih berbeda pendapat mengenai hal tersebut, di antara pendapat
mereka adalah ancaman yang menakutkan termasuk ikrâh (terpaksa). Allah swt memberikan informasi untuk umat Islam tentang bahayanya orang-orang kafir jika mengisi
wilayah kekuasaan, Allah swt berfirman:
كَيْفَ وَإِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لَا
يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً يُرْضُونَكُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَى
قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ
“Bagaimana
bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang
musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka
tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan)
perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak.
Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian).”
Jadi masuk perlemen yang tidak
membuat undang-undang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah termasuk dalam
kategori Ikrâh karena parlemen adalah salah satu wilayah kekuasaan, jika
wilayah ini diisi oleh orang-orang kafir pasti akan membahayakan umat Islam
sebagaimana telah disebutkan di dalam firman Allah diatas.
Fakta-fakta yang sama ketika gerakan
Islam mendapat suara mayoritas dalam pemilu, mereka diboikot dan diperangi oleh
orang Kafir sebagaimana yang terjdi pada FIS di al-Jazair, Hamas di Palestina,
Ikhwânul Muslimin di Mesir dan kebencian partai-partai sekuler ketika
perda-perda syarî’ah disahkan, kemudian kebencian orang-orang Sekuler Liberal
terhadap semua pergerakan Islam termasuk PKS dalam buku “Ilusi Negara Islam”. Ini merupakan bukti bahwa yang dilakukan
gerakan-gerakan Islam itu bukanlah Mudâhanah, sebagaimana firman Allah
swt:
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
“Maka
mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula
kepadamu).”
Dan firman Allah swt:
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ
الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا
لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا (73) وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ
إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74) إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ
الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا (75).
“Dan
sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau
sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia (73) Dan
kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong
sedikit kepada mereka (74) kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu
(siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda
sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa hal tersebut bukan Mudâhanah,
seandainya hal itu adalah Mudâhanah tidak mungkin mereka dibenci dan
pasti mereka disukai.
Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum
muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada
Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk
mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian
kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya
sedikit. Jadi bila masuknya itu melahirkan sesuatu yang baik, maka
diperbolehkan untuk bergabung di dalamnya, akan tetapi jika hanya sekedar menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum yang ada maka tidak boleh. Demikian
juga bila tidak mendatangkan maslahat bagi umat Islam, maka masuknya tidak
dibenarkan. Para ulama berkata, "Mendatangkan manfaat dan
menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak boleh diiringi dengan
mafsadat yang lebih besar."
Islam itu datang dengan visi menarik maslahat dan
menyempurnakannya serta menolak mafsadah dan menguranginya. maksudnya bila
tidak bisa menghilangkan semua mafsadah maka dikurangi, mendapatkan yang
terkecil dari dua dharar, itu yang diperintahkan. Jadi
tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya. Bila masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam atas segala
penyelewengan yang ada, maka tidak
boleh, akan tetapi jika masuknya demi kemaslahatan kaum muslimin dan
dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang dituntut. Dan jika dia harus mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski tujuannya mulia.
Jalan
keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat bagi kaum muslimin dan
tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal tersebut tidak bertentangan.
Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi kaum muslimin atau hal
tersebut mengakibatkan adanya kemadharatan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka
hal tersebut tidak diperbolehkan.
Apabila pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy dirinci terdapat persamaan
sebagai berikut:
1.
Persamaan
Pendapat
Dengan menganalisa sosio historis Maqdisîy dan
Qardhawîy maka penulis temukan latar belakang yang hampir tidak jauh berbeda,
karena Maqdisîy dan Qardhawîy tersebut mengalami pergolakan politik yang
memojokkan keduanya pada ranah yang tertindas, sehingga kedua ulama tersebut
harus mengalami kehidupan di penjara berulang kali, namun hal ini bukan
merupakan faktor yang mempengaruhi karya yang mereka tulis mengenai hukum
berdakwah melalui parlemen. Selama di penjara banyak karya yang mereka tulis,
terutama Maqdisîy yang kurang lebih terdapat 159 buah buku yang telah
ditulisnya. Di antara persamaan pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy mengenai hukum
berdakwah melalui parlemen pada masa sekarang ini, ialah:
a.
Bila
pemerintahan itu bukan Islam, dengan pengertian tidak mempunyai komitmen untuk
menerapkan syarî’at Islâm dan hukum-hukumnya dalam segala sektor kehidupan,
baik perundang-undangan, pendidikan, peradaban dan lain-lain, maka semua ini
ditolak dalam pandangan Islam. Sebab Islam mengharuskan orang-orang Muslim
untuk berhukum kepada aturan yang diturunkan Allah,
tidak boleh mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.
b.
Bahwa
Maqdisîy dan Qardhawîy sama-sama tidak membolehkan berdakwah melalui parlemen, namun
Qardhawîy menggabungkan antara melarang dan membolehkan, Qardhawîy membolehkan
dengan beberapa syarat di
antaranya gabungan itu harus dilakukan secara nyata, bukan sekedar isapan
jempol dan bualan dan kekuasaan itu tidak boleh menjadi simbol kezhaliman dan
kesewenang-wenangan, dikenal suka menginjak-injak hak manusia.
2.
Perbedaan
Pendapat
Berdasarkan sosio historis, tidak terdapat perbedaan
di antara Maqdisîy dan Qardhawîy, sekalipun mereka sama-sama mengalami
pergolakan politik namun mereka berbeda dalam hal pergerakan, yang mana Qardhawîy
ikut terlibat dalam pergerakan Ikhwânul Muslimin sedangkan Maqdisîy dalam harakat Islâmiyyah
yang lebih meruju’ pada menjahrkan dakwah para Nabi dan Rasul.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Abû Muhammad al-Maqdisîy berpendapat bahwa hukum
berdakwah melalui parlemen ialah haram berdasarkan dalil-dalil yang qath’îy
yang menunjukkan bahwa negara yang tidak
berhukum dengan hukum Allah swt dan juga tidak mengamalkan hukum-hukum-Nya,
maka tidak boleh bagi seorang muslim ikut serta menjadi anggota pada majelis
negara tersebut ataupun parlemennya. Yûsuf al-Qardhawîy menggabungkan antara mengharamkan dan membolehkan
masuk parlemen yaitu bahwa hukum dasar dalam masalah ini ialah
larangan bagi orang Muslim untuk bergabung kecuali dalam pemerintahan yang
membuatnya sanggup menerapkan syarî’at-syarî’at Allah, namun Qardhawîy
membolehkan berdakwah melalui Parlemen dengan beberapa syarat di antaranya
gabungan itu harus dilakukan secara nyata, bukan sekedar isapan jempol dan
bualan dan kekuasaan itu tidak boleh menjadi simbol kezhaliman dan
kesewenang-wenangan, dikenal suka menginjak-injak hak manusia.
2.
Persamaan antara pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy ialah
keduanya sama-sama berpendapat tidak membolehkan berdakwah melalui parlemen, namun
Qardhawîy menggabungkan antara melarang dan membolehkan, dan Qardhawîy membolehkannya
dengan beberapa syarat. Dan tidak terdapat perbedaan di
antara pendapat Maqdisîy dan Qardhawîy mengenai hukum berdakwah melalui
parlemen, keduanya hanya berbeda dalam hal pergerakan, yang mana Qardhawîy ikut
terlibat dalam pergerakan Ikhwânul Muslimin sedangkan Maqdisîy dalam harakat Islâmiyyah yang lebih
meruju’ pada menjahrkan dakwah para Nabi dan Rasul
B.
Saran
1.
Hendaklah ada seorang Muslim atau jama’ah Islam yang
komitmen bergabung dalam pemerintahan bukan Islam dengan tujuan untuk memperjuangkan secara resmi dan penuh dengan legitimasi agar
lebih banyak lagi hukum Islam yang bisa diakui dan berlaku di negara ini.
2.
Bagi seorang
muslim yang belum mampu berjuang menegakkan Islam lewat kesempatan berdakwah melalui
parlemen, minimal orang tersebut tidak boleh menghalangi niat orang lain yang
sudah mempunyai kesempatan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baihaqīy, Abū Bakar Ahmad bin
Husain bin ‘Alīy, Sunan al-Kubra. Beirut: Dzar Kutub al-‘alamiyyah.
Abu, Biografi
Syekh Abu Muhammad Al Maqdisi, <http://okitoink.multiply.com/journal/ item/47?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem> diakses pada
tanggal
15 Mei 2012.
Al-Maqdisīy,
Abū Muhammad. 2007. Millah Ibrāhim Dakwah Para Nabi dan Rasûl. Jakarta:
Ar-Rahmah Media.
Al-Qarḍawīy,
Yūsuf. 1997. Fiqh ad-Daulah fil Islam. Kairo: Dzar asy-Syurūq.
Bukhāri,
Shahīh. 2005. Kutubu as-Sittah. Riyād: Maktabah ar-Rusydi.
Hidayatullah,
Biografi Yusuf Qardhawi, <http://tokoh-muslim.blogspot.com/2009/01/dr-yusuf-qardhawi.html> diakses pada
tanggal
15 Mei 2012.
Muzdhar, Atho.
1998. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta:
Titian Ilahi Press.
Sukmadinata,
Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Tirmidzīy, Sunan. 2005. Kutubu as-Sittah. Riyād: Maktabah
ar-Rusydi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar