Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) disebutkan bahwa ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Mengenai ketinggian derajat para ulama disebutkan dalam firman-Nya:
...يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (11)
“…Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah [58]: 11)
Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi karakteristik bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat:
...إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28)
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir [35]: 28)
Sedangkan di dalam hadits nabi disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang dijadikan peninggalan dan warisan oleh para nabi.
إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما وأورثوا العلم…
“Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu…”(HR Ibnu Hibban dengan derajat yang shahih).
Di dalam kitab Ihya'u Ulumud-din karya Al-Imam Al-Ghazali disebutkan bahwa manusia yang paling dekat derajatnya dengan derajat para nabi adalah ahlul-ilmi (ulama) dan ahlul jihad (mujahidin). Karena ulama adalah orang yang menunjukkan manusia kepada ajaran yang dibawa para rasul, sedangkan mujahid adalah orang yang berjuang dengan pedangnya untuk membela apa yang diajarkan oleh para rasul.
Namun istilah ulama di masa kini sering kali menjadi rancu dan tertukar-tukar dengan istilah lain. Padahal keduanya tetap punya perbedaan mendasar. Misalnya, seorang yang berprofesi sebagai penceramah, seringkali disebut-sebut sebagai ulama, meski tidak punya kapasitas otak para ulama. Kemampuannya di bidang ilmu syariah, jauh dari kriteria seorang ulama.
Penceramah adalah sekedar orang yang pandai berpidato menarik massa, punya cara tersendiri ketika tampil di publik dan mungkin sedikit banyak pandai menyebutkan satu dua ayat Qur’an dan hadits, tetapi begitu ditanyakan kepadanya, apa derajat hadits itu, ada di kitab apa, siapa saja perawinya, dan seterusnya, belum tentu dia tahu.
Bahkan tidak sedikit penceramah yang buta dengan huruf arab, alias tidak paham membaca kitab berbahasa arab. Padahal sumber-sumber keIslaman hanya terdapat dalam bahasa arab, namun penceramah tetap dibutuhkan oleh masyarakat awam, yang betul-betul kurang memiliki wawasan dan pemahaman atas agama Islam. Jadi meski seorang penceramah hanya punya ilmu agama pas-pasan, tetapi tidak ada rotan akar pun jadi dengan syarat bila ia berfatwa harus berdasarkan dalil yang shahih.
Bahkan terkadang terjadi fenomena sebaliknya, banyak orang yang sudah sampai kepada level ulama, punya ilmu banyak dan mendalam, tetapi kurang fasih ketika berbicara di muka publik. Padahal dari sisi ilmu dan kedalamanannya atas kitabullah dan sunnah rasul-Nya, tidak ada yang mengalahkan.
Hendaklah kita menjadikan kritik sebagai pesan, tidak terlalu kasar dan keras. Yang timbul hanyalah antipati, bukan simpati. Tujuan mulia harus dituju dengan cara yang mulia pula. Terlebih dahulu kita harus menjadi ulama bagi diri sendiri. Dalam artian, kita mesti proaktif mencari pengetahuan dan kebenaran. Bukannya pasif dan taklid buta tanpa alasan yang jelas. Hendaklah kita juga hidup dengan sederhana karena kesederhanaan itu dicintai Allah dan Rasul-Nya, namun sangat dibenci oleh para kaum kapitalis dan materialistis. Dan hendaklah kita mencari titik temu dari segala problematika yang ada. Semoga kita termasuk golongan yang diberi rakhmat-Nya. Amin! Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar