BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
ajaran Islam dakwah memiliki urgensi yang sangat penting, karena hanya dengan
dakwah pulalah syi’ar Islam menyebar ke seluruh penjuru di setiap generasi.
Allah pun menjanjikan pahala yang besar bagi para da’i yang berjuang keras
dalam medan dakwah walaupun mendapatkan berbagai tantangan dan rintangan.
Allah
swt selaku perumus tata nilai Islam (musyari’) dan pencipta manusia (khaliq)
tahu pasti keampuhan Islam sebagai kerangka nilai rumusannya yang terakhir
untuk memenuhi kebutuhan dunia hingga akhir zaman, dan Dia tahu persis
kebutuhan umat manusia tanpa kecuali terhadap tata nilai-Nya.
Adapun
hal yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat pembahasan mengenai Hukum
Menerima Upah dalam Berdakwah adalah karena ketidaktahuan umat tentang hakikat
hukum tersebut, serta adanya golongan-golongan yang berpendapat tidak
membolehkan dengan mengutak-atik al-Qur’an dan al-Hadits Nabi saw, inilah yang
melatar belakangi penulis untuk mengerahkan kemampuan untuk mengungkapkan
kebenaran dari kitab Allah swt dan sunnah Rasulullah saw.
B.
Alasan
Pemilihan Judul
Alasan penulis memilih judul “Hukum
Menerima Upah dalam Berdakwah” adalah untuk meletakkan masalah tersebut
dalam sudut pandang syari’at Islam, karena Islam adalah agama yang universal
yang mengatur segala aspek kehidupan, baik yang sifatnya mu’amalah
maupun ibadah.
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah:
1.
Memberikan
penjelasan kepada masyarakat yang belum mengetahui status hukum menerima upah
dalam berdakwah, sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama.
2.
Meluruskan
pemahaman yang keliru tentang hukum menerima upah dalam berdakwah.
3.
Mempertahankan
Al Qur’an dan hadits Rasulullah saw dari pemikiran-pemikiran yang menyimpang
dari Islam.
D.
Metode
Penulusan
Makalah
ini disusun berdasarkan metode studi pustaka, yaitu dengan cara merujuk kepada
mushaf Al Qur’an, kitab-kitab hadits, makalah-makalah, dan buku-buku yang
relevan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Upah dalam Dakwah
Upah dalam bahasa Arab أَجْرٌ, berasal
dari kata أَجَرَ-يَأْجُرُ-أَجْرًا-أُجُوْرًا-إِجَارَةً yang berarti memberi hadiah atau upah. Sedangkan upah menurut
istilah adalah bayaran yang diberikan sebagai balas jasa atau ongkos tenaga
yang sudah dikeluarkan orang lain.
Dakwah menurut bahasa berasal dari
kata دَعَا-يَدْعُوْا-دُعَاءً-دَعْوَةً yang artinya menyeru, mengajak/berdo’a. sedangkan dakwah menurut
istilah adalah menyeru manusia ke jalan Allah swt agar manusia beribadah
kepada-Nya dengan cara yang bijaksana dan sesuai dengan al Qur’an dan al
Hadits.
Jadi maksud “Upah dalam Dakwah” adalah upah yang diperoleh seseorang
dari hasil usaha dalam melakukan dakwah.
Sebagaimana firman Allah swt:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125)
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (Qs. An Nahl [16]:
125).
B. Sifat-Sifat Da’i
1.
Ikhlas
2.
Sabar
3.
Pemberani
4.
Penyayang
5.
Jujur
6.
Teguh pada pendirian
7.
Lapang dada
8.
Berilmu
C. Hukum Menerima Upah dalam Berdakwah
Tentang menerima upah dalam berdakwah ada dua pendapat di kalangan
ulama’, yaitu:
1.
Pendapat yang Membolehkan
Dakwah adalah sebuah kata yang mulia bagi telinga orang-orang yang
memahami ajaran Islam. Ia merupakan salah satu jalan untuk berjihad di jalan
Allah swt. Dalam berdakwah, seorang da’i harus menyediakan waktu dan tenaganya
dalam melakukan hal yang mulia ini. Seorang da’i juga manusia yang perlu makan,
pakaian, transportasi, dan harus pula menafkahi anak istri seperti orang lain.
Dalam hal ini Rasululllah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قالَ رَسُوْ لُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ: إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْ تُمْ عَلَيْهِ أَجرًا كِتَابُ ا للهِ
عَزَوَجَلَ. (رواه البخري(
Dari Ibnu Abbas ra bahwasanya Rasulullah
saw telah bersabda: “Sesungguhnya yang paling patut kalian ambil upahnya
adalah al Qur’an.” (HR. Bukhari).
Hadits di atas keumumannya memberi arti boleh, bahkan
menurut hadits ini menunjukkan bahwa patut seorang mengambil upah atas:
a.
Membaca al Qur’an
b.
Mengajar membaca al Qur’an
c.
Mengajarkan isi al Qur’an
d.
Mentablighkan pelajaran-pelajaran al Qur’an
e.
Mencetak al Qur’an
f.
Menjual nuskhah al Qur’an
g.
Mengobati dengan al Qur’an
h.
Menghukum dengan al Qur’an
Rasulullah saw juga bersabda:
عَنِ ابْنِ
السَّاعِدِيِّ الْمَلِكِيِّ، أَنَّهُ
قَالَ: اسْتَعْمَلَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى
الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا فَرَغْتُ مِنْهَا وَأَدَّيْتُهَا إِلَيْهِ أَمَرَ لِى
بِعُمَالَةٍ. فَقُلْتُ: إِنَّمَا عَمِلْتُ
لِلَّهِ، وَأَجْرِي عَلَى اللهِ. فَقَالَ: خُذْ مَا أُعْطِيْتَ، فَإِنِّي
عَمِلْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَعَمَّلَنِي، فَقُلْتُ مِثْلَ قَوْلِكَ. فَقَالَ لِيْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" إِذَا أُعْطِيْتَ شَيْئًا مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَ، فَكُلْ وَتَصَدَّقْ
")رواه مسلم).
Dari Ibnu as Sa’idy al Maliki, bahwasanya
ia berkata: “Umar bin Khattab ra mempekerjakanku untuk mengumpulkan sedekah.
Tatkala selesai dan telah aku serahkan kepadanya, ia memerintahkan aku untuk
mengambil upah.” Lalu aku berkata: ”Aku bekerja hanya karena Allah, dan
imbalanku dari Allah.” Lalu ia berkata: “Ambillah yang telah aku berikan
kepadamu. Sesungguhnya aku bekerja di masa Rasulullah saw dan mengatakan seperti
apa yang engkau katakan.” Lalu Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Jika aku
memberikan sesuatu yang tidak engkau pinta, makanlah dan sedekahkanlah.”
(HR. Muslim).
Hadits di atas juga menunjukkan bolehnya menerima upah yang tidak
dimintanya, karena upah ini memang sudah menjadi hak bagi seorang da’i.
Dan bolehnya
menerima upah dalam masalah ini dibatasi oleh kewajiban berniat ikhlas karena
Allah swt. Karena yang paling utama ganti atas pekerjaan yang mulia ini adalah
pahala seperti orang-orang yang mengikutinya. Sebagaimana sabdanya:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: مَنْ دَعَا إِلَى هُدَىً كَانَ لَهُ مِنَ
الأَجْرِ مِثْلُ أجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهمْ شَيئًا(رواه
مسلم).
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa menyeru kepada kebaikan maka baginya balasan (pahala)
seperti orang-orang yang mengikutinya, tidak dikurangi yang demikian itu dari
pahala-pahala mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).
2.
Pendapat yang Melarang
Pendapat
yang kedua ini menggunakan dalil:
…قُلْ لَا
أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا …
(90)
Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al
Qur’an).” (Qs. Al An’am [6]: 90).
Dan Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: مَنْ
أَخَذَ عَلَى الْقُرْآنِ أَجْرًا فَقَدْ تَعَجَّلَ حَسَنَاتِهِ فِي الدُّنْيَا
وَالْقُرْآنُ يُخَاصِمُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ(أبو
نعيم).
Dari Ibnu Abbas ra berkata: telah bersabda
Rasulullah saw: “Barangsiapa mengambil upah mengajarkan al Qur’an, maka ia
telah meminta disegerakan kebaikannya di dunia dan al Qur’an akan memusuhinya
pada hari kiamat.” (HR. Abu Nu’aim).
Rasulullah
saw juga bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ التَّعْلِيْمِ
وَالْأَذَانِ بِالْأُجْرَةِ, فَمَنْ
فَعَلَ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Rasulullah
saw telah melarang mengajar dan adzan dengan upah. Maka barangsiapa mengerjakan
hal itu, maka atasnya laknat Allah, para malaikat, dan semua manusia.”
Berdasarkan
ketiga dalil inilah ada ulama’ yang berpendapat bahwa menerima upah dalam
berdakwah adalah dilarang. Dan prinsip dari larangan adalah untuk mengharamkan,
tidak ada keterangan yang mengalihkan dari pengharaman kepada kemubahan dan
tidak dapat disangsikan lagi bahwa al Qur’an itu adalah ilmu agama yang paling
mulia, jadi untuk mendakwahkannya tidak perlu menerima imbalan.
Selain
itu sesungguhnya berdakwah adalah ibadah dan balasannya akan diberikan oleh
Allah swt dan menerima upah menafikkan fungsi ibadah pendakwahan.
3.
Tarjih
Berkaitan
dengan diperbolehkannya atau dilarangnya menerima upah dalam berdakwah, maka
dalam hal ini penulis menguatkan pendapat yang pertama, yakni pendapat yang
membolehkan menerima upah dalam berdakwah, karena shahihnya dalil-dalil tentang
hal tersebut.
4.
Bantahan terhadap pendapat yang melarang
a. Dalil Pertama
Penulis
tidak setuju pada pendapat kedua yang melarang seorang da’i menerima upah
dengan berdasarkan pada Qs. Al An’am: 90, dimana lafadzلَا أَسْأَلُكُمْ mereka maknakan “jangan
menerima upah.”
Ayat
ini tidak berarti melarang, karena huruf لَا pada lafadz لَا أَسْأَلُكُمْ tidak menggunakan لَاالنَّاهِيَةُ dengan arti “janganlah”, akan
tetapi menggunakan لَاالنَّافِيَةُ dengan arti “tidak (meniadakan).”
Maksudnya yaitu di dalam menyampaikan al Qur’an (berdakwah), Rasulullah saw
tidak mengharapkan atau tidak meminta suatu upah berupa harta atau
manfaat-manfaat lain, sebagaimana halnya seluruh Rasul sebelumnya tidak mengharap upah kepada
kaumnya sebagai imbalan dari menyampaikan dakwah dan memberikan petunjuk,
karena mereka ikhlas hanya mengharap keridhaan Allah swt dalam melaksanakan
pekerjaaan yang mulia ini. Tetapi hal ini bukan berarti seorang da’i tidak boleh menerima upah.
b. Dalil Kedua
Abu Nu’aim berpendapat, hadits dari Thaus termasuk hadits
gharib. Tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya kecuali Abu Abdullah Asy
Syami; dan dia orang yang tidak dikenal.
Al Albani dalam Adh Dha’ifah juga berkata: “Saya tidak
mengenalnya.”
Jika dilihat dari rentetan sanadnya sebagai berikut:
Nabi
saw à
Ibnu Abbas à
Thawus à
Abi Ubaid asy-Syami (Majhul) à Musa bin Rasyid à
Abdur Rahman bin Nafi’ à Hasan bin Ali bin Walid à
Muhammad bin Ahmad bin Hasan.
c. Dalil ketiga
Ibnu Al
Jauzi berkata: “Hadits ini tidak shahih”. Adh Dzar Quthni berpendapat: “Shalih
bin Bayan dan Al Farrat bin As Sa’ib, adalah orang yang ditinggalkan
riwayatnya.”
Jika dilihat
dari rentetan sanadnya sebagai berikut:
Nabi
saw à
Ibnu Umar à
Maimun bin Mahran à al-Farrat bin as-Sa’ib (Matruq) à
Shalih bin Bayan as-Tsaqafi (Matruq).
Telah jelas
terlihat dari kedua rentetan sanad di atas terdapat rawi-rawi yang dha’if,
sehingga hadits tersebut tidak dapat dipakai.
Jadi sebutan larangan seorang da’i menerima upah harus segera dihilangkan.
Karena sebutan itu tidak berdasarkan dalil.
Jadi, berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan di atas,
menerima upah dalam berdakwah adalah mubah, karena upah ini memang sudah
menjadi hak bagi seorang da’i. Dan bolehnya menerima upah dalam masalah ini
dibatasi oleh kesertaan ikhlas karena Allah swt, karena ganti yang paling utama
atas pekerjaan yang mulia ini adalah pahala seperti orang-orang yang
mengikutinya. Sebagaimana sabdanya:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: مَنْ دَعَا إِلَى هُدَىً كَانَ لَهُ مِنَ
الأَجْرِ مِثْلُ أجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهمْ شَيئًا (رواه مسلم).
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa menyeru kepada kebaikan maka baginya balasan
(pahala) seperti orang-orang yang mengikutinya, tidak dikurangi yang demikian
itu dari pahala-pahala mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).
Adapun
alasan yang melarang seorang da’i menerima upah dengan membawakan dalil Qs. Al
An’am: 90 tidak bisa dijadikan dasar, karena huruf لَا pada
lafadz لَا أَسْأَلُكُمْ tidak menggunakan لَاالنَّاهِيَةُ dengan arti “janganlah”, akan tetapi menggunakan لَاالنَّافِيَةُ dengan arti “tidak (meniadakan).” Maksudnya yaitu di dalam
menyampaikan al Qur’an (berdakwah), Rasulullah saw tidak mengharapkan atau
tidak meminta suatu upah berupa harta atau manfaat-manfaat lain, sebagaimana
halnya seluruh Rasul sebelumnya tidak
mengharap upah kepada kaumnya sebagai imbalan dari menyampaikan dakwah dan
memberikan petunjuk, karena mereka ikhlas hanya mengharap keridhaan Allah swt
dalam melaksanakan pekerjaaan yang mulia ini. Tetapi hal ini bukan berarti
seorang da’i tidak boleh menerima upah.
Adapun hadits-hadits yang menunjukkan tentang larangan, juga tidak
dapat dijadikan dasar karena dha’ifnya hadits-hadits tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan nash-nash di atas penulis menyimpulkan bahwa hukum
menerima upah dalam berdakwah adalah mubah.
DAFTAR PUSTAKA
Al Mishri, Abu Muhammad. 1992. Bolehkah
Ustadz Menerima Amplop. Jakarta: Pustaka Inner.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al
Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif.
Hasan, Ahmad. 1991. Bulughul Maram.
Bandung: CV. Diponegoro.
Depag RI. 1991. Al Qur’an dan Terjemahnya.
Bandung: CV. Penerbit J-ART.
Fanani, Umar. Catatan Fiqh Dakwah Kelas
VI Tahun Pelajaran 2008.
Ad Dimasyqi, Abi Fida’ Isma’il bin Katsir. Mukhtasor
Tafsir Ibn Katsir. Makkah: Darul Qur’anul Karim.
Al Maraghi, Ahmad Mushtafa. 1974. Tafsir
Al Maraghi. Semarang: CV. Toha Putra.
Al Qurasyi, Ibnu Al Jauzi. 1983. Al
Maudhu’at Juz I. Beirut: Darul Fikr.
Ahmad Abu Nu’aim. 1935. Hilyatul Auliya’.
Mesir: Matba’atus Sa’adah.
Al Albani. 1988. Ahaaditsu Dha’ifah wal
Maudhu’ah. Riyadh: Maktabah Al Arif.
Al Atsqalani, Ibn Hajar. Al Fathul Baari.
Al Maktabah As Salafiyah.
----------------------------- Tahdzibut
Tahdzib. Beirut: Darul Fikr.
----------------------------- Lisanul
Mizan. Beirut: Darul Fikr.
Naisabury, Abu Husain Muslim bin Hajjaj Al
Qusyairy. Shahih Muslim. Beirut: Darul Fikr.
Al Mazy, Yusuf. 1998. Tahdzibul Kamal fi
Asma’ ar Rijal. Beirut: Darul Fikr.
Dzahabi, Abu Abdullah bin Ahmad bin Utsman.
Mizanul I’tidal. Beirut: Darul Fikr.
Mohon penjelasan kebolehan menerima upah dalam berdakwah dengan surat-surat al quran sbb:
BalasHapus1. Yasin 21
2. Huud 29 dan 51
3. Asy-syuaro 164 dan 180
terimakasih